7🌸

23 8 0
                                    

Alvio menyeringai melihat tubuh istrinya bergetar, seolah takut akan sebuah ancaman. "Duduk sini," suruh Alvio melirik ruang kosong di sampingnya sejenak.

"Apa Mas?" tanya Zahfa ketika menempatkan dirinya di samping Alvio. Berharap jika pria itu tak mengamuk seperti film-film di televisi yang memukul secara membabi buta saat mabuk.

"Siapkan air hangat," pintanya, setengah memohon, tatapannya sayu. Membuat hati ibah ketika menatapnya. Tapi, apakah pintanya itu saja? Yang harus meminta Zahfa duduk di sisinya? Benar saja, hanya itu. Sangat dimaklumkan dengan keadaannya sekarang. Sedang mabuk, tidak ngamuk sudah untung.

____

Zahfa!

Ia membopong Alvio ke kamar dengan sekuat tenaga. Memang, Alvio sedikit menyusahkan. Tadi dia berlagak seolah tidak butuh bantuan, namun kenyataannya dia tepar setelah menghabiskan sisa bir dalam botol yang ia genggam. Dan pada akhirnya, tetap Zahfa lah yang kerepotan, mencari air kelapa ke warung terdekat. Cemas akan kondisi Alvio yang kata Zahfa sekarat, padahal itu wajar dialami Alvio ketika mabuk berat.

Menyedihkan! Namun manis juga bila mengingat paniknya Zahfa yang tidak tahu menahu akan derita orang mabuk. Apalagi usahanya Zahfa yang menyuapi Alvio dengan sesendok air kelapa dengan membuka paksa mulut suaminya yang terus menolak. Serta mengompresnya.

Kali ini sangat menyebalkan, bukan!

Zahfa memang tipe wanita yang memiliki hati lembut, bahkan malam itu ia menyuapi Alvio yang berbaring antara sadar dan tidak sadar dengan sup daging buatannya, ketika Zahfa ingat jika suaminya itu belum makan. Ada kemungkinan jika Alvio belum makan sejak pagi. Karena, Alvio itu tipe manusia yang tak peduli akan kesehatan? Informasi itu Zahfa dapatkan dari mama mertuanya, kemarin malam.

"Semoga Allah membuka pintu hatimu Mas, untuk kembali ke jalan-Nya," lirihnya. Mendo'akan bukan berarti mencintai, secara perasaan. Namun sebuah kewajiban sesama hamba-Nya, bagi Zahfa yang tengah berusaha untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.

Zahfa menarik selimut tebal hitam kelam, hingga mencapai batas dada Alvio. Wajah polos Alvio begitu damai bersama sang mimpi, napasnya teratur, disaat tidur pun ia begitu tampan. Dilihat-lihat, wajah tampan Alvio mewarisi sang mama, yang memiliki paras cantik juga bibir tebal. Seiras, yang menjadi pembeda hanya Alvio versi jantan, itu menurut Zahfa. Yang kini sudah berdiri di ambang pintu, meninggalkan senyum pada si penghuni kamar, sembari menutup rapat daun pintu.

_____

"Sekarang semua sudah jelas kalau ayah menjual anak sendiri," singgung Bu Hana berintonasi tinggi.

"Maksud ibu apa?" mata Pak Irsyad menyipit. "Kenapa sih, ibu tidak pernah membiarkan rumah tenang dalam sehari saja," lanjutnya memandang Bu Hana sepintas.

"Alvio sudah mendapat warisan saham perusahaan dari papanya kemarin malam, seusai acara pernikahan," ketusnya pada Pak Irsyad.

"Lalu apa urusannya sama ayah? Dan, ibu tau dari mana?" tanya Pak Irsyad lembut, sembari menutup kitab tebal penuntun sholat untuk para santri dalam genggamannya.

"Dari Zahfa lah. Jelas ada urusannya, ayah menerima Alvio karena dia dari keluarga orang kaya, kan?" tuduhnya membuat Pak Irsyad sepenuhnya marah.

"Astagfirullah... Bu! Ayah sama sekali tidak tau dan tidak mau tau tentang harta kekayaan mereka. Sedikitpun ayah tidak pernah berpikiran ke situ, jika ayah berpikir tentang harta, Faiz juga dari keluarga orang kaya dan dia paham agama. Ayah menerima Alvio semata-mata karena Allah. Itu saja!" terangnya bernada tinggi, lalu berlalu.

Antara Aku dan Kamu| Hiatus/3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang