Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan langit-bumi beserta isinya. Begitu indah pemandangan sore itu dengan senja membentang di kaki langit, yang memancarkan sinarnya ke sebagian penghuni bumi. Keindahan seperti itu sulit 'tuk diabaikan, bagi sebagian dari mereka yang menyukai memilih untuk menikmati hangatnya yang menenangkan.
Jauh di bawah sana, seorang gadis berperawakan tinggi semampai dengan kain gamis yang menutup seluruh lekuk tubuhnya. Ia tengah berdiri memandang kuning emas di ufuk barat sana, menyandarkan bagian depan tubuhnya ke sebuah pagar besi pembatas jalan, tangannya dilipat di atas pagar. Ia tak sendiri, ada lelaki berbadan kokoh di sampingnya yang menemani, yang memandang ke arah sama.
Terdengar samar-samar di belakang, suara orang-orang berlalu lalang yang ikut meramaikan taman kota Singa di Negeri 1001 Larangan ini. Ada yang bersenda gurau, anak kecil menangis, ada juga yang berteriak kecil--remaja labil yang kemungkinan sedang patah hati--dan menjadi sorot pandangan bagi pengunjung taman.
"Berisik gak, sih?!" Alvio mulai jengah dengan orang-orang sekitar. "Cari tempat lain yuk!"
Berlalu dari tempat yang membosankan, mereka beralih ke suatu tempat yang cukup terkenal. Kaki mereka melangkah membelah jalan ramai. Sambil lalu mengamati bangunan-bangunan sekitar, yang tinggi menjulang, ada juga sederhana dengan pintu kaca seadanya yang terdapat papan nama menggantung di sana.
Bagian bawah gamis merah tua yang Zahfa kenakan menyapu debu jalan, mengejar arah matahari terbenam. Langkah Zahfa membelok kanan, melewati kolam berjembatan, menuju pantai di seberang. Tidak banyak pengunjung, namun tidak juga sepi.
"Tunggu bentar," kata Alvio lalu berlalu.
Mata Zahfa menyipit menatap tak mengerti punggung sang suami yang telah menjauh. Ia duduk di pasir kering, netranya bergerak ikut pada pasir berterbangan. Tepat dengan lenyapnya pasir di udara, bayangan Alvio terlihat dari kejauhan. Lagi, Zahfa menyipitkan mata memfokuskan pandangan. Benar, itu Alvio membawa sepeda keranjang berwarna putih mengarah Zahfa.
Senyum miring tergambar di wajah tampan Alvio, samar-samar Zahfa membalasnya, meski tak begitu kentara namun Alvio dapat menangkapnya. "Nih, buat lo. Gue mau jemput yang punya gue dulu," ujar Alvio menstandarkan sepedanya. Belum sempat beranjak, kelebat Zahfa bangkit dari tempat duduknya mencengangkan Alvio, tak memedulikan hamburan pasir yang menyelip di lipatan kecil gamis Zahfa tertiup angin mengenai wajahnya. Tiga detik Alvio menatap heran Zahfa yang menajamkan mata ke arah sepedanya dengan sebelah alis menukik tajam. "Kenapa muka lo kayak gitu?" tanyanya penasaran, lalu memandang sepedanya bergantian.
"Ini sepeda buat apa, Mas?"
"Ya, lo pikir sepeda bisa dimakan? Ya buat dinaikin lah. Gue mau ambil sepeda gue dulu di sana." Alvio menunjuk ke arah sembarang. "Entar kita lomba balapan," sambungnya memainkan dua alis.
"Aku tidak bisa naik sepeda, Mas," tutur Zahfa mengadu sedih. Kemudian ia menundukkan kepala tak ingin melihat raut kecewa pada wajah suaminya.
"Hah?!" Alvio memegangi kepala seraya mengembuskan napas kasar. "Bawa mobil gak bisa, oke, gak apa-apa. Lah, ini bawa sepeda onthel juga gak bisa. Lo bisanya apa?" geramnya, ingin memaki jika tak mendengar isakan Zahfa yang menunduk rapat.
"Yaudah. Sekarang lo tenang aja, gue bakal ajarin lo. Tapi lo jangan bawa perasaan, gue baik sama lo cuma karena gak ada temen, bete main sendirian," celotehnya panjang, menyiapkan sepeda untuk Zahfa. Namun, Zahfa masih bergeming di tempat, Alvio menarik pergelangan tangannya. "Ayooo...."
Alvio berlari sembari mendorong sepeda yang dinaiki Zahfa, ada tawa di antara mereka. Tawa renyah, Zahfa lah yang menciptakan tawa itu pada Alvio, itu terjadi ketika Zahfa tak sengaja hampir menabrakkan sepedanya pada sepasang kekasih yang berlalu lalang di sana. Kecelakaan kecil itu pasti terjadi, jika Alvio tak segera menahannya. Tanpa memedulikan makian orang itu, Alvio malah tertawa terpingkal-pingkal saat kejadian berlalu tak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku dan Kamu| Hiatus/3
Romance@Ji_Cyna.03420 |Rendah konflik. "Nikahi dia, aku ikhlas!" Tidak peduli secantik apa pun dirimu, tidak akan mempan bila masa lalu berani menjangkiti otak dan hatimu. Seperti halnya Bunga Za'faran, gadis cantik dengan panggilan Zahfa. Ia belum bisa me...