Chapter 1

5.5K 461 28
                                    

Menyesali tindakan spontan adalah perilaku impulsif yang sangat merugikan jikalau akal telah menyadari hal yang telah berlalu. Dan kini, aku benar-benar menyesali keputusanku untuk memalsukan kematian selepas kegagalan menjalankan misi. Membunuh burung gagak yang telah menemani keseharian ku selama lima tahun lamanya, lalu membiarkan pedang nichirin ku berada di tangan musuh tanpa berniat untuk merebut ulang benda yang telah menjadi bagian dari hidupku itu.

Napasku terasa tercekat akibat dinginnya udara yang melingkupi ketika badai salju tengah menerpa permukaan daerah yang tidak ku kenali sama sekali.

Tungkai kaki ini berjalan tidak menentu arah. Aku merasakan lelah bukan main karena sebelumnya sempat terlibat dalam pertarungan dengan seorang iblis yang masuk kedalam pangkat Iblis rembulan atas. Perbandingan kekuatan yang mencolok tentu saja membuat persentase kemenangan kelompokku mencapai angka minus, sungguh mustahil untuk melarikan diri dengan selamat kalau hanya dalam satu kali tebasan di udara mampu melenyapkan setengah dari regu yang dipimpin oleh Kaigaku.

Kini aku tidak memiliki satu alat pun untuk bertahan hidup ditengah keadaan yang sungguh tidak memungkinkan untuk mendapatkan pertolongan manusia yang berbaik hati. Mengantisipasi akan kehadiran predator manusia tanpa alat pengaman sama sekali cukup membuatku gila sembari menahan rasa sakit yang mendera hampir setiap inci tubuhku dengan rasa awas yang kelewat.

Kondisiku saat ini tidak dapat dikatakan baik tanpa penanganan sigap tenaga medis, aku masih memaksakan diri untuk mencari tempat untuk berteduh ditengah kemustahilan, sebab sejauh mata memandang, aku tidak dapat melihat satu pemukiman pun di sini.

Tangan kananku menekan kuat luka menganga di bagian perut, aku tidak sempat menahan pendarahannya yang berasal dari luka menganga menggunakan perban karena kehabisan persediaan.

Rekan dalam satu reguku mendapatkan luka yang sangat mengerikan meski setelah mendapatkan tindakan cepat pun tetap meregang nyawa. Serangan mahluk itu benar-benar mematikan pergerakan kami. Aku bahkan nyaris mati kalau saja Kaigaku—kekasihku tidak mendorongku dengan sengaja ke dasar jurang yang tidak terlalu dalam.

Rasa ini—terlalu menyesakkan, aku tidak bisa menahan luapan emosi yang meluruh begitu saja melalui pelupuk mataku tatkala rasa penyesalan yang kuat menghantui.

Ah, lagi-lagi aku kehilangan orang terdekatku. Padahal sebelumnya kami telah berkomitmen untuk memantapkan hubungan asmara ini ke jenjang yang lebih serius. Kaigaku berkata akan meminangku setelah misi ini berakhir.

Misi memang telah usai, kami telah menghantarkan putra kepala Desa ke tempat tujuannya dengan selamat. Tetapi, ketika kami sedang menuju jalan pulang, kami mendapatkan gangguan dari iblis yang menyerang secara tiba-tiba.

Pertanyaan yang menghantuiku di setiap langkah kakiku adalah ‘bagaimana dengan keadaannya?’ meskipun sejujurnya aku tidak berharap lebih ketika berhadapan dengan salah satu iblis rembulan terkuat. Hatiku terlalu sakit untuk menyingkapi kebenaran yang menyerukan kematiannya hanya dengan melihat keadaan terakhir kali kami bersama.

Seharusnya tidak begini.

Dan sampai pada akhirnya aku tak mampu lagi berjalan, dengan kedua kaki yang sangat lemas. Aku jatuh bersimpuh di antara tumpukan salju yang sangat tebal.

Dinginnya salju terasa amat menusuk hingga ke tulang, tubuhku menggigil luar biasa. Mencoba menggertakan rahang agar menahan sensasi dingin yang merabak lebih jauh ke tubuhku pun terasa percuma.

Punggung telanjangku terasa sangat dingin ketika bersentuhan secara langsung dengan salju yang turun dan hinggap di sana. Benar, punggungku tidak lagi tertutupi oleh selembar kain pun. Hanya tubuh bagian terdepan yang masih sedikit utuh kondisinya.

Kaigaku dengan sengaja merobek pakaian yang terdapat tulisan kanji khas pemburu iblis sebelum mendorongku. Rok pendek yang ku kenakan juga semakin memperparah keadaan.

Akal memaksa indra penglihatan untuk tetap terbuka—di tengah beratnya kelopak mata untuk bertahan.

Rasa lelah lebih mendominasi tubuhku. Dan kini, aku mulai kehilangan kesadaran tubuh.

Boleh 'kah aku berharap lekas mati setelah ini?

Penderitaan ku sudah terlampau banyak, dan kali ini aku hanya ingin merasakan bahagia meski tidak di dunia ini.

Bersama dengan Kaigaku.

Di gelapnya dunia kehidupan dengan kematian, jikalau sang Pencipta merestui.

oOo

Tatkala meninjau waktu yang telah berlalu, kupikir tidak akan ada kemungkinan bagiku untuk tersadar ditengah bencana yang menerpa. Namun, ketika terbangun, aku mendapati diriku yang berada di ruangan asing dengan suhu yang hangat.

Obsidian ku mengerjap beberapa kali, entah kenapa aku merasakan cahaya di ruangan ini terlalu cerah, sehingga tangan kananku melindungi mataku dari biasan cahaya.

“Kau telah sadar! Oh, betapa legahnya hatiku ini.” suara ringan seorang pria tiba-tiba saja terdengar manakala aku terlalu sibuk dengan fokus ku.

Tubuh ku terperanjat, aku menoleh kesamping dan mendapati pria dengan busana aneh tengah duduk manis dengan sepasang kipas di masing-masing genggaman tangannya.

Sebisa mungkin suara teriakkan ku hentikan dengan satu kali tegukan saliva kala menyaksikan bagaimana sepasang mata berwarna pelangi dengan corak kanji di kedua pupil matanya di hadapanku, dengan jarak yang semakin menipis kala wajah pucatnya bergerak mendekat.

“Parasmu benar-benar elok, hmm? 13 tahun yang lalu,  aku menyaksikan wajah yang serupa--apakah aku telah mendapatkan penggantimu, Kotoha?” Ia enggumamkan hal yang tidak ku ketahui sama sekali.

Pria itu tersenyum ramah, dan pada saat itu juga aku mampu melihat gigi taring yang mencolok di antara bibirnya.

Kematian yang tidak etis.

Usapan lembut pada sisi wajah membuatku bergidik. Terlebih ketika jemari dingin itu mengusap bibir bawahku dengan gerakan melambat.

Untuk pertama kalinya aku merasakan jantungku berdegup tiga kali lebih kencang dari biasanya. Terpicu oleh sentuhan dari seorang iblis yang tak lazim. Entah itu dikarenakan tidak siap dengan kematian, ataupun hal yang tidak mampu ku cerna saat ini.

Pria itu menoleh kebelakang. Terlihat berbicara pada dua orang wanita paruh baya, lalu mereka mengangguk sebelum berjalan keluar— menutup pintu, dan juga menguncinya dari luar.

Kini, kedua netra itu bertatapan langsung dengan mataku. Dia tersenyum penuh arti. “Bolehkah aku mengetahui namamu?” dia bertanya dengan ramah dengan alis yang terangkat tinggi.

Aku mengangguk kaku, sedikit ragu sebenarnya. Namun tidak ada pilihan lain selain memutuskan untuk berbicara dengan jujur, toh memilih berbohong juga tiada guna, “Sumako (Y/n).”

Senyumannya semakin lebar, “Baiklah, apakah kau mempercayai kebajikan para Dewa, (Y/n)-chan?”

Nada bicaranya sungguh mencurigakan, namun aku tak ambil pusing meski rasanya nyawaku ingin melenggang pergi dari ragaku, “Ya.” balasku ragu.

Lihatlah, bahkan sekarang ini raut wajahnya menunjukan tingkat keantusiasan yang tinggi layaknya anak kecil. Walaupun keyakinan ku ketika menganalisis keadaan, aku dapat menyimpulkan usianya lebih dari angka 100 tahun.

“Kau harus berterimakasih pada Dewa sepertiku, sebab aku akan memberikan kehidupan baru padamu.” wajahnya semakin mendekat, mengikis jarak diantara kami, sontak hal itu membuatku menolehkan wajahku ke samping. “Aku takkan menyia-nyiakan gadis secantik dirimu untuk kedua kalinya. Aku akan membuatmu berada di sisiku selamanya.”

Air mataku meluruh, iblis itu menempelkan bibirnya pada permukaan bibirku, dan kini aku sadar, bahwa aku tak lagi utuh pada malam itu setelah menerima segenap rasa sakit yang menginvasi tubuhku.

[]

𝐌𝐲 𝐃𝐞𝐬𝐭𝐢𝐧𝐲✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang