BUAAKK!!
Meredith meninju wajahku dengan keras. Hingga aku tersungkur ke tanah karenanya. "APA YANG KAU LAKUKAN PADA ZENARA?!! TEGA SEKALI KAU MEMBUATNYA MENANGIS!!", bentaknya. Aku diam mendengarnya, tak bergeming sedikit pun. Kepalaku tunduk dan pipiku terasa hangat, sesuatu yang cair mengalir pelan dari ujung bibirku.. darah. "Meredith!! Apa yang kau lakukan?!", bentak Azalea tiba-tiba yang langsung maju begitu Meredith meninjuku. Beberapa orang mendekatiku dan membantuku berdiri. "Swift, kau tak apa?", tanya salah satunya, yaitu Hazelia. "Ya ampun, Swift... bibirmu berdarah.", Nia mulai panik. Aku tetap diam. "Ini urusanku dengan Swift, jangan ikut campur... atau kau yang akan menerima akibatnya.", ancam Meredith seraya menunjuk wajah Azalea. "Hn? Akibatnya? Heh, dengar Meredith.. kau tidak tahu apa-apa tentang Swift. Yang kau tahu dia selalu buruk dimatamu.", balas Azalea. "Sudahlah.. kalau dia bilang mundur, ya mundur saja.", tiba-tiba Ray mendorong bahu Azalea dengan kuat, untungnya gadis adventurer itu mampu menopang tubuhnya yang tak seimbang. Sejenak, mata Azalea dan Ray bertemu. "Dasar, aku muak melihat wajah kalian.", ujar Azalea kesal. Ia pun pergi meninggalkan Ray yang terus menatapnya disetiap langkah. Hazelia dan Nia menuntunku menjauh dari geng Ray. Yang lain pun mengikuti kami pergi. Tatapan kaget dan melongo itu masih terpajang di wajah mereka.
>>AUTHOR POV<<
"Hhh, rasanya ingin kuhajar habis-habisan anak itu!", pekik Meredith. Ia tak rela teman segengnya diperlakukan buruk. "Sudahlah, ada waktunya kita akan menghajar Swift. Toh, kulihat dia bukan gadis yang pandai bergulat. Dia pasti akan kalah denganku.", ujar Ray sombong. "Kurasa tidak mudah menghajarnya, kawan. Lihatlah tadi... belum apa-apa sudah dilawan.", kata Savana seakan mendukung rencana Ray dan Meredith. "Kalau bisa jangan Swift saja yang dihajar, jika kalian mau kita hajar semua kelas 11.", usul Azure. "Hn? Menghajar semuanya? Kau pikir mudah? Kita butuh waktu untuk merencanakannya.", sanggah Bella. "Hmm, semua kelas 11? Tak buruk, ide yang kuinginkan semenjak bergabung dengan kalian.", kata Ella. "Hei, hei.. jangan asal bicara. Perhatikan langkah kalian. Seharusnya kita mulai dulu dari yang paling lemah, baru yang kuat.", cegah Dian. Ia merasa teman-temannya sudah kehilangan akal mau menghajar semuanya sekaligus. It's so crazy. "Aku setuju dengan usulan Azure. Kalau boleh memilih, aku akan menghajar Nia. Ia pernah membuatku kesal dan menyindirku yang tidak mencatat pelajaran, sekretaris aneh.", Zeline pun ikutan kesal. "Hei, apa yang kalian bicarakan..?? Zenara baru saja menangis, dan kalian ingin menghajar Swift? Itu akan membuatnya semakin sedih.", sela Athena ditengah hiruk pikuknya perdebatan. Pernyataan Athena membuat satu geng tertegun. "Benar juga... eh, kata-katamu membuatku muncul ide bagus.", ujar Fallya semangat. "Apalagi ide dikepalamu itu?", tanya Fheeya sinis. "Bagaimana kalau kita.....", Fallya menjelaskan rencananya dengan gamblang dan rinci. Wajahnya memancarkan senyum kemenangan.
"Hmm... lumayan juga rencanamu. Tumben bagus.", ledek Dian seraya tersenyum miring. "Heh! Ini bukan sekalinya ya aku berpendapat.", bantah Fallya. Ia mengerucutkan bibirnya karena geram dengan sikap Dian ditambah leluconnya yang kelewat batas. "Baiklah, kapan kita akan melaksanakannya?", tanya Ray tak sabaran. Apalagi masalah membully, itu sangat membuatnya membara berjuta-juta kali lipat. "Besok? Atau lusa?", tanya Savana. "Besok saja. Jangan menunda rencana ini. Aku tak sabaran ingin menghajar Swift. Ia pernah membuang penggaris mahalku saat piket kelas, padahal ia tahu itu milikku. Dan aku tak terima sampai sekarang.", ujar Fheeya. Sepertinya ia menyimpan dendam cukup dalam pada Swift. "Sudah, sudah... keluarkan saja semua amarah, benci, dendam, dan segala perasaan kalian yang telah Swift lukai.", sela Zeline. Semua temannya tersenyum menanggapi Zeline. "Lihat saja kau, Swift. Ancaman kami tak main-main.", batin Ray. Senyum kebenciannya mengembang dibalik bibir merahnya. Malangnya seorang Swift, ia tidak tahu kejadian apa yang akan menimpanya besok. Mungkin lebih besar dibanding membunuh mayat-mayat itu.
💀💀💀
>>SWIFT POV<<
Aku terduduk lemas di atas kasurku. Darah di ujung bibirku mengalir semakin deras. Ternyata pukulan Meredith sangat kuat sampai membuat luka seperti ini. Teman-temanku tampak sibuk. Ada yang mengambil air hangat, kain kasa, antiseptik dan alkohol, bahkan plaster untuk membungkus lukaku. "Swift, jangan bicara dulu... bibirmu terkelupas.", ujar Naomi seraya mengambil kain bersih di lokernya, lalu mengusap darah yang telah mengalir sampai leherku. Naomi menggigit bibir bawahnya karena merasa ngilu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Seluruh tubuhku lemas, terlebih kepalaku. Rasanya seperti dihantam seribu batu. Pandanganku perlahan buram, tapi aku masih bisa melihat jelas teman-temanku yang berkumpul di kamar 01-SHS demi melihatku. Padahal bukan luka parah, setidaknya begitu menurutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Zone
Mystery / ThrillerDunia berubah... entah apa yang menimpa makhluk bumi... sebuah virus yang ditandai dengan gejala tidak lazim membuat semua orang paranoid. Berawal dari Netherlands Gravaron Boarding School, Swift bersama ke-34 temannya bertahan hidup dari serangan...