Chapter 12 : What The Hell??! Is That Right??

19 6 0
                                    

"Berita pagi ini adalah tentang virus yang sudah menyebar luas hampir ke seluruh penjuru Amerika bahkan hampir setengah dunia. Laporan dari pemerintah pusat bahwa kota-kota besar mulai dari Los Angeles sampai Texas sudah terkena imbasnya. Berjuta-juta orang tertular dan pemerintah sempat kewalahan. Segenap usaha dikerahkan tapi tidak menghasilkan apa-apa. Para peneliti menyebutnya virus B-028 yang sampai sekarang tidak bisa terdeteksi. BLEEDERS, begitu mereka menyebutnya. Makhluk itu akan memangsa manusia mana pun yang mengusik mereka dengan hembusan nafas atau gerak anggota tubuh. Gejala virus ditandai dengan demam tinggi, mimisan, dan muntah disertai cairan berwarna merah kehitaman, dan munculnya urat hitam di seluruh tubuh, ketika salah satu dari kita tertular maka dalam waktu beberapa detik mereka akan berubah menjadi Bleeders. World Health Organization atau kerap disapa WHO kini tengah menguji coba vaksin yang dapat memperhambat pertumbuhan virus. Saat ini pemerintah pusat sudah menutup akses jalan ke kota-kota besar. Untuk sementara orang-orang yang selamat akan diungsikan ke Lexington, Kentucky, Satu-satunya kota besar yang aman dari virus tersebut. Info pent... CRRRT!! CRRRT!! CRRT....!...", "hei, kenapa tvnya?!", Nia panik melihat siaran tv memburuk, begitu pun yang lain. Aku berusaha tenang.

CRRRT! CRRT!.... SING.....

Pada akhirnya siaran tidak berlanjut, malah berujung mati. "Gawat! Secepat ini?", Althia berkata pasrah. "Lalu bagaimana dengan kabar sekolah ini? Masih berlanjutkah?", tanya Sarah intens. "Entahlah..", jawabku lemas. "Swift..", panggil Dian pelan. Spontan aku menoleh ke sumber suara. "Kita harus bersatu sekarang... Ini tidak bisa dibiarkan. Aku rasa kita perlu membentuk tim inti.", ujar Dian tiba-tiba. "Hey, pelan-pelan.", tahanku. "Kita tidak bisa memastikan apakah Syracuse sudah terinfeksi. Bahkan para guru belum memberikan info apa-apa pada kita.", jelasku. "Bukan itu yang kita pikirkan, bagaimana dengan orang tua kita? Apakah mereka selamat?", Rose memotong pembicaraanku dengan Dian. Seisi kamar pun saling sambung-menyambung. "Orang tua, ya?", batinku.

"Teman-teman! Aku mendapat pesan dari wali kelas!", seru Naomi tiba-tiba sembari mengacungkan ponselnya. "Bacakan!", suruh Lisa. "Beliau bilang, kita hari ini tetap masuk sekolah. Para guru ingin memastikan kalau kita semua aman. Lalu, beliau juga sudah mencoba memberi pesan pada Naira tapi tidak dijawab.", ujar Naomi. "Hhh.... Keputusan yang aneh.", rutuk Dian. Semua berkomentar tidak senang mendengar pengumuman tersebut, lain halnya denganku yang tidak ikutan dan diam saja. "Swift.", seseorang memanggilku datar, ia adalah Nia. "Aku mulai curiga padamu. Sedari tadi kau sangat tenang mendengar berita itu, bahkan kami yang meributkan masalah orang tua pun kau tidak ikutan. Jangan-jangan kau sudah tahu kalau virus ini mulai menyebar, tapi kau diam saja dan berpura-pura tidak tahu. Memangnya kau pikir-", "aku tidak tahu apapun. Jangan mudah curiga padaku, Nia. Kau tidak tahu apapun tentangku.", tatapanku nanar ke arahnya. Nia tersentak mendengarnya, sedangkan yang lain diam. "Kenapa aku tidak mengkhawatirkan orang tuaku? Karena mereka tidak ada.", sambungku. Sontak semua pasang mata yang melihatku membelalak mendengar ucapanku barusan, mereka pikir aku bercanda. "Swift, maaf... aku tidak bermaksud-", "sudah, tidak apa.", potongku sembari mengisyaratkan telapak tanganku agar Nia tidak melanjutkan pembahasan ini lagi. "Dian, terima kasih atas saranmu. Kau benar, kita harus bersatu... itu juga yang kupikirkan saat kedua kalinya menghadapi bleeders.", ujarku sambil beranjak dari kasur dan berjalan keluar dari kamar, duduk di kursi depan dan merenungkan kejadian barusan. Orang tua? Siapa itu? Aku tidak kenal mereka, bahkan tidak sedikit pun wajah keduanya terngiang di memoriku. Yang kuingat hanyalah nenek dan kakekku, merekalah yang mengurusku dari kecil hingga sebesar ini. Bagiku mereka sudah seperti orang tuaku sendiri, dan sampai sekarang tidak terpikir olehku kosakata "orang tua". Kini Nia mengingatkanku dari kata yang tenggelam lama di penyimpanan otakku, wajar saja jika Nia seperti itu. Aku tidak marah, tidak juga kesal... hanya saja aku kaget dan memilih untuk sendiri serta merenungkan apakah aku harus mencari tahu siapa orang tuaku sebenarnya? Ya, aku harus mencari tahu mereka sampai dapat.

Forbidden ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang