>>AUTHOR POV<<
Di kelas, perdebatan antara dua kubu masih berlangsung. Azalea, Hana, Dyara, Sarah, dan El berusaha membuat argumen mereka diterima sebaik mungkin oleh kubu Ray. Namun sepertinya kubu tersebut sedikit susah membuka hati mereka untuk menerima secercah kebaikan dari kubu kedua. Tidak terkecuali Dian yang mulai bergabung dengan kubu kedua, bahkan Fheeya perlahan mengentikan aksinya dan memilih diam.
Suasana kelas semakin memanas. Namun pada akhirnya, seseorang yang tidak terduga berteriak memecah perdebatan. Jelas di wajahnya tercetak rasa lelah dan menyerah. "Aku sadar! Selama ini aku salah!", Zeline merutuk dirinya sendiri. "Apa maksudmu, Zeline?", tanya Meredith bingung. Ia menunduk sejenak, lalu menatap kembali teman-temannya. Mereka tampak menunggu jawaban.
"Untuk apa kita terus memisahkan diri seperti ini? Sudah cukup kita mendengar wali kelas meninggal. Apa kalian masih mau enggan berubah? Sekarang dunia sudah berubah seolah tidak lagi melihat bahwa manusia juga ingin berubah, sama seperti dirinya. Jangan mau dikalahkan dengan rasa egoisme kalian. Kita disini sudah bersama selama hampir 5 tahun. Kita tidak tahu apakah kita masih bertemu di luar sana... di dunia yang lebih kejam... dan kita tidak tahu seperti apa keadaannya jika kita tidak bersama. Maafkan aku... Aku menyesal telah membenci kalian selama ini. Aku tahu aku tidak pantas untuk membalas dendamku pada orang yang kubenci, yang lalu biarlah berlalu.", ujar Zeline panjang lebar, wajahnya menyiratkan penyesalan yang dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, ia tidak tahan dengan banyaknya amarah dan dendam yang ia simpan di hatinya selama ini.
"Hei, Zeline... jangan menangis.", Savana menenangkan teman dekatnya, mengelus lembut punggung Zeline. "Zeline benar.", sahut Fheeya kemudian. Ia bangkit dari duduknya setelah lama berdiam diri dari debat, bukan mundur bukan pula menyerah. "Fheeya! Jangan bilang kau-!", Meredith sontak kaget mendapati Fheeya sepemikiran dengan Zeline. "Kau, Dian! Sihir apa yang kau gunakan sampai membuat mereka berubah?!", tuduh Meredith kesal dengan telunjuknya mengarah tepat di hadapan wajah Dian. Bukannya menjawab, gadis itu malah berdecih.
"Meredith, hentikan ocehanmu. Jika kau takut teman-temanmu bubar karena rasa bersalah, maka secara tidak langsung kau mengatakan dirimu pengecut.", ujar El tajam. Meredith hanya menaikkan alisnya tanda bingung. "Jika kau tidak ingin dikatakan pengecut, seharusnya kau siap dengan keadaan apapun tanpa teman-teman kesayanganmu.", sambung Dyara. Meredith mati kutu, mulutnya tidak mampu lagi berkata-kata, tangannya terkepal kuat mendengar celotehan yang baginya tidak berbobot itu.
"Kau mau marah? Marahlah! Sampai kapan pun kau tetap memandang kami buruk. Entahlah, aku tidak mengerti isi pikiranmu. Kami berniat baik ingin mengubah kalian, tapi malah bertolak belakang.", kata Azalea disertai mata sinisnya bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya. Lagi, Meredith merasa terpojok. Ia tidak tahu harus melawan bagaimana, lelah rasanya karena banyak tenaga yang dikerahkan saat berdebat hebat sebelumnya.
"Ayolah, kita bersatu.", tiba-tiba Zenara angkat suara, gadis itu juga termasuk yang tidak ikut berdebat tadi. Dirinya menyibukkan dengan permainan di ponselnya. Semua sorotan mata tertuju pada Zenara. "Kita sudah melihat bagaimana Swift berusaha membunuh mayat-mayat itu. [Menghela nafas pelan] kalian pasti sudah tahu aku punya konflik masa lalu dengannya, tapi bukan itu yang ingin kubicarakan sekarang.... Sudah saatnya kita berhenti membenci satu sama lain.", sambungnya.
💀💀💀
>>SWIFT POV<<
Aku melepaskan salah satu earphone-ku. Jika tidak salah, aku mendengar suara decitan pintu. "Hhh... Siapa lagi itu?", pikirku. Apa ia tidak mengerti aku ingin sendiri? Hanya sendiri dan tidak mau ditanya "kenapa", "ada apa denganmu?"... Hah! Itu pertanyaan yang membutuhkan jawaban lebih dari 2 kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Zone
Mystery / ThrillerDunia berubah... entah apa yang menimpa makhluk bumi... sebuah virus yang ditandai dengan gejala tidak lazim membuat semua orang paranoid. Berawal dari Netherlands Gravaron Boarding School, Swift bersama ke-34 temannya bertahan hidup dari serangan...