8

5.2K 418 34
                                    

Setelah kepergian Sasuke dari ruangan kerjanya, Naruto semakin kacau bayangan hina menganai Sasori yang bajingan dengan Hinata yang murahan berputar-putar dalam kepalanya. Ada sesuatu yang harus Naruto lakukan, yakni melakukan tes dna dengan anak Hinata. Meskipun ia yakin dirinya lah yang memerawani Hinata namun sebagian dari dirinya enggan mengakui anak itu. Ia ingin memiliki Hinata seutuhnya, ingin mendominasi wanita itu lebih dari apa pun dan siapapun termasuk jika seorang bayi bisa membuat Hinata terbagi Naruto sangat mengutuk hal tersebut.

Dia sudah mengklaim Hinata sebagai miliknya, dan tidak akan pernah sudi membagi Hinata dengan siapa pun termasuk bayi mungil yang mungkin hadir karena perilaku bejatnya.

"Coba lah untuk lebih persuasif, adanya anak antara dirimu dan Hinata adalah penghubung yang sempurna."

Kalimat Sasuke bertalu-talu dalam telinganya. Persuasif? Ia harus merendahkan harga dirinya pada Hinata? Sungguh Naruto membenci fakta tersebut. Bertahun-tahun lalu ketika dirinya amat merindukan Hinata dia selalu mengharapkan gadis itu bahagia, namun mengapa saat dia sudah berhadapan secara langsung dengan Hinata dia sangat membenci fakta bahwa Hinata bahagia dengan orang lain, selain dirinya?

Maka jawabannya dia harus berhadapan langsung dengan Hinata. Dengan harga diri yang sudah ia kesampingkan pria itu mengunjungi rumah sederhana di distrik Asakusa, pria itu mengetuk pelan pintu kediaman Hinata. Bagaimana pun ia adalah seorang tamu disini dan untuk dijamu dengan baik ia harus bersikap sebaik mungkin.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Hinata menatap datar Naruto yang berdiri dengan wajah sangat berantakan, kantung mata dan area matanya yang menghitam membuktikan pria itu kurang tidur, janggut-janggut halus di rahang pria itu menunjukan ia tidak membersihkan diri dengan baik. Hinata mengenal baik pria ini, pria ini begitu benci jika ada sesuatu yang berantakan termasuk penampilannya sendiri.

"Ada sesuatu yang harus kita bahas. Kau tidak lupa akan kebenaran mengenai anakku yang kau sembunyikan kelahirannya, kan Hinata?" Naruto mencoba tenang ia menghirup udara segar selagi bisa tenang berhadapan dengan Hinata.

Hinata tersenyum tipis, jadi sekarang Naruto sudah tahu tentang Menma? "Apa itu penting? Bukannya yang lebih penting dari itu adalah semua sifat dominasimu?"

"Hinata, aku minta maaf untuk kejadian di bar. Aku terlalu marah melihatmu ada di sana." Naruto harus bisa mengontrol dirinya, melihat Hinata mampu mengontrol emosinya membuat Naruto terpukau, Hinata yang dulu hanya seorang gadis bodoh tergila-gila padanya sudah menjelma menjadi seorang wanita dewasa dengan kontrol diri sebaik ini. Sebenarnya apa saja yang sudah dilalui wanita ini dan apa saja yang Naruto lewati selama empat tahun meninggalkan Jepang?

Hinata masih bersedakap, tangannya masih menyilang depan dada dengan mimik wajah tenang. "Kau masih mengingatnya? Aku bahkan sudah lupa, belakangan ini persiapan pernikahanku makin padat tidak sempat memikirkan hal-hal tidak penting."

Naruto menahan luapan emosinya, ia harus bisa meladeni Hinata yang setenang ini, hal-hal tidak penting katanya? Jadi Naruto bukan lagi bagian penting? "Bisa kita bicara? Apa kau tidak ingin menjamuku?"

Hinata tersenyum masam, menjamu Naruto? Menjamu seseorang yang sudah merusak masa depannya? Apa Naruto masih memiliki akal sehat? "Namikaze-san kita bukan teman lama, apa hubungan kita di masa lalu pantas untuk beramah-tamah?"

Jadi dia hanya seorang Namikaze-san sekarang? Bukan lagi Namikaze-senpai atau Naruto-kun? "Kita pernah menjadi sepasang kekasih, kita pernah menikmati makan malam bersama, kita juga pernah berbagi dessert bersama." Naruto menyeringai, Hinata yang seperti ini makin membuatnya jatuh cinta. Hinata bukan lagi gadis lugu nan polos seperti itik buruk rupa, Hinata sudah menjelma menjadi wanita berkharisma dan anggun ia serupa dengan angsa sekarang.

"Dan semua itu hanya terjadi tanpa sepengetahuanku kalau kau melibatkanku dalam permainan kurang ajar antara dirimu dan temanmu."

Hinata benar, semua terjadi berawal karena permainan konyol antara dirinya dan Gaara. Namun Hinata tidak pernah tau perasaan Naruto tumbuh bersamaan dengan permainan konyol tersebut, Naruto lah pecundang sesungguhnya. Dia kalah dalam permainan yang ia buat, ia bertekuk-lutut pada targetnya sendiri. "Jadi tidak ada tempat untuk seorang ayah yang mau mengenal anaknya?"

Hinata tersentak hatinya terkoyak, Naruto mengakui sebagai ayah dari Menma? Kemana saja pria itu saat Hinata berjuang antara hidup dan mati melahirkan benihnya? Di mana Naruto saat Menma harus berjuang melawan penyakitnya? Kemana Naruto saat Hinata hampir gila kehilangan putranya? "Begitukah? Kurasa Menma tidak butuh sosok Ayah. Dia lahir tanpa ada sosok ayah dan meninggal pun tanpa sosok ayah."

"Jadi namanya Menma? Kau menamai putra kita sendiri? Aku suka pilihanmu Hinata, nama yang indah."

Bukan ini Naruto yang Hinata kenal, kemana perginya pria arogan yang penuh dominasi gila? kemana Naruto yang tidak waras? Melihat Naruto memperlakukan dirinya sebegini lembut membuatnya risau, Hinata ingat awal kebodohannya ketika terperdaya dengan rayuan dan sifat manis Naruto tentu pria ini sedang memanipulasi keadaan agar Hinata kembali terperdaya. "Tidak ada yang perlu dibahas, semua yang terjadi antara kita hanya kenangan masa lalu yang sudah kulupakan." Hinata berdusta, tidak ada satu hari pun dalam hidupnya ia melupakan hari-hari saat menjalani romansa sebagai kekasih Naruto, ia tidak akan pernah lupa ketika menikmati dessert bersama, ia tidak akan lupa hari-hari dimana Naruto menemaninya, ia tidak akan lupa hari di mana Naruto memainkan perannya dengan amat baik, sebuah peran kekasih yang berpura-pura mencintai kekasih lugunya untuk keuntungan pribadi.

"Kalau begitu, temani aku menemui dirinya, sebagai ibunya kau harus memperkenalkan aku sebagai ayah dari anak kita." Naruto menekankan kata anak kita pada kalimatnya makin membuat Hinata terperdaya. "Semua anak berhak mengetahui siapa ayah dan ibunya."

"Dia sudah tenang. Jangan membawa masalah pelik antara kita padanya."

Naruto menarik senyum simpul membuat Hinata bergidik menatap senyum palsu tersebut. "Tapi Hinata tidakkah kau berpikir dia tidak suka dengan masalah kita? Apa menurutmu dia tidak sedih melihat orang tuanya bermusuhan?"

Hinata tertawa merendahkan. "Aku tidak pernah menganggapmu sebagai musuhku dan cukup aneh mengatakan kita berteman. Hubungan seperti apa yang sebenarnya ada di antara kita?"

"Hubungan suami istri, sudah seharusnya kita merealisasikannya Hinata. Anak kita akan senang dengan gagasan ini." Naruto berucap tenang jika Hinata mau berperang dingin Naruto akan meladeninya. Hinata yang saat ini jelas sekali memukau, membuat Naruto harus berupaya lebih gigih untuk mendapatkannya. Setarakah harga dirinya yang ia abaikan dengan kembalinya Hinata ke dalam pelukannya?

Hinata kembali tertawa kali ini dengan senyuman manis yang membuat Naruto makin menggila. "Suami istri? Jika yang kau maksud adalah aku dan Sasori-kun kau benar. Yang benar saja Namikaze-san kau menempatkan diri pada status itu dengan ku?"

"Jangan sebut nama pria lain di hadapanku Hinata." Naruto bersuara datar, ia tidak suka berbagi Hinata dengan siapapun, Hinata adalah miliknya dan Sasori hanya perebut.

"Oh tuhan, apa aku salah menyebut nama calon suamiku sendiri?" Hinata terbahak lucu sekali Namikaze Naruto ini.

"Kau belum menikahi siapapun. Selama itu, aku masih lebih berhak atas dirimu."  Dengan pelan Naruto menangkup dagu Hinata, ingin rasanya dia mencicipi lagi rasa bibir lembut Hinata. Sayang sekali kondisi yang ada tidak memungkinkan. Dia hanya membuat kobaran api antara dirinya dan Hinata semakin membara jika melakukannya. "Mungkin kau sedang tidak dalam keadaan baik untuk bicara, kita bertemu lagi lain kali."

"Tidak ada lain kali Namikaze Naruto." Sasori datang tepat pada waktunya, Naruto melepas pangutannya dari dagu Hinata sebelum menatap remeh pada Sasori.

"Terima kasih sudah menjaga Hinata dengan baik selama aku tidak di sini. Namun, sudah waktunya apa yang menjadi milikku akan kembali padaku." Dengan santai ia menepuk bahu Sasori memberikan senyum penuh seringai kemenangan.

Tinju Sasori mendarat sempurna pada pelipis Naruto setelah kalimat menjijikan tersebut. "Jaga bicaramu." Ucap Sasori lalu kembali melancarkan serangannya pada ujung bibir Naruto. "Ini untuk Hinata, dan semua penderitaannya yang kau sebabkan."

Naruto menyeka darah pada ujung bibirnya. Ini bukan apa-apa, membalas Sasori tentu sangat mudah dilakukan namun Naruto memilih tidak melakukannya ada Hinata yang sedang memperhatikan dirinya. "Sampai jumpa lagi, Hinata sayangku."

4 Years [PDF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang