Prolog

133 6 6
                                    

Rinai tersentak ketika netranya tak sengaja menangkap sesuatu. Ah, lebih tepatnya seseorang. Dan sialnya, seseorang itu yang datang dari masa lalunya.

Masa lalu yang paling tak ingin diingatnya, namun sialnya selalu saja melekat pada memorinya.

"Liat apa Lo, Rin?" tanya seorang cowok. Dia adalah Rain Abigail. Kakak kembaran Rinai yang sebentar lagi bertunangan.

Rinai gelagapan, "Oh, anu. Tadi cuma liat seseorang, mungkin cuma salah lihat." Rinai mengangkat bahunya acuh. Meski netranya masih saja mengikuti pergerakan pria itu.

Pria yang sekarang terlihat dewasa dan berwibawa. Padahal dulu, pria itu adalah cowok yang—

"Rinai, dia kembali. Mau ngucapin selamat ke Lo." Mega, pacar sekaligus calon tunangan Rain membuyarkan lamunan Rinai tentang pria itu. Rinai menghela napas pelan.

"Lo baik-baik aja, kan?"
Rinai tersenyum tipis ke arah Mega yang menatapnya khawatir. "Gue rasa delapan tahun udah cukup buat membentengi hati."

°•°•°•°•°

Kini Rinai sudah duduk di hadapan pria itu, pria yang dulu adalah cowok yang menjadi poros kehidupannya.

Sial! Rinai sangat gugup.

Pria itu hanya menatap Rinai dalam diam dengan tatapan teduhnya, seolah tak ingin kehilangan sosok Rinai dari pandangannya.

"Selamat, Rin. Saya ikut bangga atas keberhasilan kamu."

"Dan..." Ada jeda sebentar, pria itu menghirup napas lalu menghembuskannya perlahan, seolah meyakinkan dirinya untuk melanjutkan kalimatnya, "Selamat ulang tahun yang ke-25. Kamu sudah dewasa. Berdoalah, nanti saya aminkan. Kado untukmu sudah di tangan Rain."

Suara itu, berubah. Meski kadar seraknya masih sama seperti dulu. Suara yang dulu sangat dingin dan tinggi, sekarang berubah menjadi suara hangat dan berat.

Cara bicaranya pun sudah berubah.
Dulu, pria itu selalu menggunakan gue-lo dalam berbicara. Tapi sekarang, dia terlihat sopan dan formal. Bahkan, cenderung terlihat kaku. Pria itu sudah banyak berubah.
Rinai menyeruput Americano pesanannya dalam diam, "Terima kasih."

"Seharusnya, Anda tak perlu repot-repot membawa hadiah untuk saya. Saya sudah dewasa."

"Kamu benar. Kamu sudah dewasa sekarang." Pria itu menyeruput kopinya, lalu melanjutkan, "Kamu tahu, ada tujuan lain saya kembali ke negara ini."

Rinai tentu tahu. Sangat tahu dengan jelas malah.

Pria itu akan menikah.

Bukan dengan Rinai tentunya.

Rinai mengangguk tegas, "Saya tahu."
Meski dalam hatinya menjerit.

Hatinya berdenyut nyeri.

"Saya—"

"Anda akan menikah, bukan?" Rinai memotongnya, tak ingin mendengar kabar itu secara langsung.

Rinai tersenyum tipis meski hatinya sudah berdarah-darah. Hancur sudah delapan tahun usaha move on yang susah payah ia lakukan.

Hari ini, tepat di hari ulang tahun dan acara syukuran atas novelnya yang sudah difilmkan dan mencapai jutaan penonton dalam waktu yang singkat, seorang Rinai Hujan yang sudah berusia 25 tahun itu kembali menjadi sosok seperti delapan tahun yang lalu.
Luka di hati seorang Rinai Hujan yang sudah mulai mengering, kini kembali menganga. Bahkan, luka itu menghancurkan hatinya.

"Rinai, datanglah ke pernikahan saya."

"Saya tidak berjanji, Langit."

Rinai kembali patah hati.

Dan itu karena satu pria yang sama.
Cowok berandal yang dulu berkali-kali menjatuhkannya, cowok yang dulu berkali-kali mematahkan hatinya, cowok yang dulu enggan melihat keberadaannya.

Dan cowok itu sekarang kembali dengan perubahan yang signifikan.
Dan pria itu sekarang akan segera menikah.

Langit Selatan akan segera menikah!

Untuk kesekian kalinya, Rinai ambyar!

Sekali lagi—




Rinai ambyar!

PEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang