Part 1 [Duel]

59 8 7
                                    

Rinai Hujan.

Itu yang tertulis di name tag yang dikenakan oleh cewek yang sedang berkutat dengan laptop kesayangannya di pojok kelas.

Mengetik dengan lihai sambil mengunyah permen karet yang sudah menjadi favoritnya sejak kecil.
Mengabaikan suasana kelas yang sepi, hanya penuh oleh suara ketikan keyboard dan detakan jarum jam.

Cewek yang akrab dipanggil Rinai atau Rin itu tersenyum. Ia berhasil menyelesaikan cerpennya yang entah ke berapa.

"Akhirnya, tinggal dikirim ke Kak Lintas." Rinai mendesah lega, sambil melakukan peregangan yang biasa dilakukan ketika bangun tidur. Suara peregangan otot-otot itu membuat Rinai tersenyum.

Ia sudah mengirim cerpennya pada Lintas, cowok yang menjadi tutor yang merangkap menjadi editornya dalam masalah penerbitan. Baik itu puisi, essay, cerbung, kisah inspiratif, cerpen, cermin, one shot story, bahkan novel.

Rinai menyimpan laptop miliknya di laci meja. Ia beralih pada ponselnya yang tergeletak di meja.

"RINAAAAIII!"

Rinai mengelus dadanya. Jantungnya berdetak kencang.

Bukan, Rinai bukan sedang jatuh cinta ataupun bertemu dengan kekasih hatinya.

Tapi Rinai terkejut karena teriakan seorang cewek yang sekarang di hadapannya sedang ngos-ngosan.

"Ada apa sih, Bulan? Ngagetin tau nggak."

"Lo nggak ingat? Sekarang Langit mau duel sama Rangga di SMK Pradipta." Bulan Sabit, cewek yang akrab disapa Bulan itu memberitahu maksud kedatangannya.

Rinai menepuk dahinya keras, "Oh iya! Terus sekarang gimana?!"

Bulan membantu Rinai membereskan alat tulisnya tanpa menjawab Rinai.
Lalu mereka berlari menuju parkiran. Rinai langsung menaiki Scoopy pink milik Bulan. Dan tak lama kemudian, motor yang dikendarai oleh Bulan melesat membelah jalan.

Sesampainya di sana, Rinai langsung berlari membelah lautan manusia yang memenuhi lapangan futsal SMK Pradipta, meninggalkan Bulan yang memakinya karena ditinggal ketika memarkirkan motor.

Bisa Rinai lihat, ada dua orang cowok berseragam putih abu-abu yang sedang berbaku hantam. Kedua-duanya sudah babak belur. Dengan lebam di mana-mana.

"Rain, gue harus gimana?" Rinai menghampiri kakak kembarnya yang kebetulan adalah sahabat Langit.

"Biarin aja, Lo cuma perlu siapin kotak P3K buat ngobatin Langit, nanti." sahut Rain, Rain Abigail yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kembar Rinai.

Rinai mengangguk. Meski dalam hatinya ia khawatir pada sosok Langit.

"Rinai, Lo tega ya ninggalin gue di sarang musuh!" Bulan menjitak kening Rinai hingga sang empunya mengaduh kesakitan sambil mengusap bekas jitakan Bulan yang mulai memerah.

"Lo jahat, kalau benjol gimana?" Rinai cemberut lalu menggembungkan pipinya kesal, lebih tepatnya pura-pura kesal. Membuat Bulan dan Rain mendengus geli.

"Apaan si man—"

"LANGIT MENANG WOII LANGIT MENANG! SMA RADHAVAT MENANG! SEKOLAH KITA MENANG! GATRASVARA IS REAL ETERNAL!" Teriakan itu menggelegar di seluruh penjuru lapangan futsal SMK Pradipta. Siswa-siswi SMK Pradipta bubar dengan wajah muram dengan lesu. Mungkin malu, karena dikalahkan tepat di dalam kandangnya sendiri.

Rinai meraih kotak P3K yang sudah ia persiapkan dari tadi lalu segera menghampiri Langit yang sedang meringis sambil menatap lukanya.

"Langit!"

Langit mengerutkan keningnya bingung, setahunya tadi Rinai sedang mengejar Deadline untuk dikirim ke penerbit hari ini juga, "Lo ngapain di sini?"

"Gue mau obatin luka Lo. Ayo cepetan!"

°•°•°•°•°

Rinai mengobati luka Langit dengan serius.

Langit hanya diam sambil menatap ke arah lain, karena ia merinding merasakan hangatnya hembusan nafas Rinai.

Ini terlalu dekat!

"Ashh, pelan-pelan bege." Langit meringis ketika Rinai tak sengaja menekan luka di sudut bibirnya.

"Selesai." Rinai merapikan alat-alat P3Knya.

Rinai menatap serius wajah babak belur Langit, "Lo ada masalah apa sama Rangga sampai duel begitu?"

Langit mendengus tak suka, "Lo nggak perlu tahu!"

Rinai tersentak lalu memasang wajah sedihnya sambil mengusap dadanya, mencoba untuk mendramatisir keadaan.

"Nggak usah lebay!"

Rinai cemberut sambil mengelus bekas toyoran Langit di keningnya.

Seketika Rinai tersenyum lima jari membuat Langit bergidik ngeri, "Langit, anterin gue pulang ya. Rain lagi nongkrong sama anak Gatrasvara."

"Emang Lo nggak bisa nunggu?" tanya Langit acuh sambil menaiki motor sport hitamnya.

Rinai menatap Langit penuh harap, "Yaudah kalo gitu gue nebeng sampe kafe, ya?" Langit mendengus, "Naik!"

Dan tak lama kemudian, motor yang dikendarai oleh Langit melesat membelah jalan, meninggalkan kepulan asap yang terjebak di parkiran, kemudian menguar menghilang dengan sendirinya karena terpaan angin lalu.

Sesampainya di kafe, Rinai langsung turun dari jok motor Langit, "Thanks ya, lang. Nih buat Lo." Rinai meletakkan sekotak permen karet favoritnya ke dalam genggaman Langit lalu berjalan memasuki kafe, meninggalkan Langit yang menatapnya dalam diam.

Langit mengalihkan pandangannya pada permen karet pemberian Rinai yang ada di genggaman tangannya, "Cewek aneh."

°•°•°•°•°

Anak-anak Gatrasvara yang sedang berbincang langsung menoleh ketika mendengar langkah mendekat ke arah mereka.

"Lho? Rinai? Lo ke sini sama siapa?" tanya seorang cowok yang langsung mematikan rokoknya ketika Rinai mendekat.

"Oh, mau nunggu Rain. Ke sini sama Langit tadi, kak.. emm?"

"Jangan-jangan Lo masih bingung mau manggil gue apa?"

Cowok tadi terkekeh disusul tawa dari anak-anak Gatrasvara.

Apalagi Rinai sedang tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal setelah meneguk jus yang belum bertuan.

"Nama gue Malam Algebra, Lo bisa panggil gue Mal, Malam, Al, Gebra. Asal jangan panggil gue Gege sama Rara aja."

"Gue panggil Bang Al aja kali ya?" usul Rinai yang langsung dibalas dengan anggukan semangat sekaligus senyum seribu Watt dari Malam.

"Wah curang, dia dipanggil bang sama Lo. Tapi kita nggak." protes salah satu teman Malam, Orion namanya.

Rinai menyengir kuda, "Hehe, soalnya chemistry Bang Al nggak terelakkan."

"Boleh." Malam mengacak puncak kepala Rinai yang mengundang deheman keras.

Bukan hanya Rain yang berdehem, tapi Langit yang baru datang juga berdehem sambil menatap mereka berdua dengan datar.

"Wah, ada yang jeles nih." celetuk seorang cowok yang seragamnya tak dikancingkan, menampakkan kaos hitam polos. Namanya Siang Mahdavi, yang kerap disapa dengan Dav.

Langit hanya mendengus lalu meneguk minuman yang entah milik siapa.

Semua yang di sana tercengang.

"Kalian kenapa?" Langit menatap satu persatu orang di hadapannya dengan memicing curiga.

Hening, tak ada yang bersuara.
Hingga akhirnya Langit kembali meminum jus mangga itu.

"Itu udah gue minum, kenapa Lo minum?"

Langit tersedak saat suara Rinai menginterupsinya.

"Indirect kiss." celetuk Rain.

"Sial!" umpat Langit.

Poor you, Langit Selatan.

PEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang