"Hai, Jes! Lo kenapa?" Tanya Hazel yang menemui Jessi di perpustakaan saat jam istirahat.
Jessi hanya menggeleng.
"Soal ibu lo lagi?" Tanya Hazel.
Jessi menggeleng. Ia terlihat begitu gelisah dan marah, namun enggan untuk berbicara.
"Lo mau cerita sama gue?" Tanya Hazel lagi.
Jessi menghela napasnya. Ia perlahan menatap Hazel dengan tatapan sedih, matanya berkaca-kaca. "Gue remed matematika, Zel." Jawab Jessi dengan nada sedih. Ia menunjukkan lembar ujiannya hanya mendapat nilai 76.
"Tumben. Lo ada masalah pas ujian?" Tanya Hazel.
"Gue nggak ngerti!" Jessi mengendus kesal. "Gue ngerjain soalnya sesuai yang gue mampu, tapi nyatanya gue bodoh banget sampai nggak lolos kkm."
"Lo pasti ada masalah, deh! Coba cerita ada apa sebelum ujian matematika?" Tanya Hazel.
Jessi mengendus kasar. "Gue nggak bisa berhenti mikirin Neva sama Jefan." Jawab Jessi jujur.
"Neva sama Jefan? Emang mereka kenapa?" Tanya Hazel.
"Mereka ada masalahlah pokoknya." Jawab Jessi enggan menjelaskan.
"Lo tenang aja, nanti kita belajar sama-sama." Hazel meraih tangan Jessi untuk memberi semangat. "Kita pulang, yuk!" Ajak Hazel.
Mereka segera melangkah meninggalkan perpustakaan. Ketika melewati lapangan sekolah, Hazel menahan lengan Jessi.
"Mau istirahat dulu?" Tanya Hazel.
"Hm?"
Hazel menarik Jessi untuk duduk di tepi lapangan untuk melihat beberapa anak ekstrakulikuler yang sedang berlatih.
Hazel tersenyum melihat lapangan yang begitu ramai. "Setahun yang lalu lo masih belajar di pinggir lapangan, kan?" Tanya Hazel.
Jessi tersenyum simpul. "Ya, gue nungguin lo sampai bosen, tapi lo malah nggak bosen-bosen latihannya."
"Mau nungguin gue main lagi?"
"Nggak usah aneh-aneh, deh!" Jawab Jessi. "Lo kan udah janji mau berhenti ekstrakulikuler kalau udah kelas tiga."
Hazel tertawa kecil. "Mau pulang telat nggak? Kita seru-seruan biar nggak tegang."
"Boleh. Tapi, lo nggak bimbel?"
"Nggak masalah kalau cuma bimbel." Jawab Hazel.
Menjalang maghrib, saat semua yang berlatih sudah selesai, Hazel dan Jessi menuju tengah lapangan. Hazel memainkan bola basket di tangannya sedang Jessi diam sembari mengamati setiap gerakan Hazel.
"Lo mau coba?" Tanya Hazel sembari menawarkan bola basket di tangannya.
"Nggak, deh. Terakhir kali gue nyoba tidak berakhir dengan baik." Jawab Jessi mengingat kejadian ketika bola yang ia lempar malah memantul kembali dan mengenai kepalanya hingga nyaris pingsan.
Hazel duduk di samping Jessi. "Gue nggak pernah nyangka akhirnya kita sampai di kelas tiga. Ujian, latihan soal, pendaftaran, peringkat. Semuanya berusaha meyakinkan gue kalau gue udah kelas tiga."
Hazel menatap Jessi. "Orang tua gue minta supaya gue kuliah di luar negeri, Jes."
Jessi segera mengalihkan pandangannya pada Hazel. "Kemana?"
"Australia atau Singapura mungkin? Atau kalau gue berhasil tes, gue bakal ke Eropa."
Tanpa di sadari air mata Jessi mulai terkumpul di pelupuk mata. "Sejak kapan?"
"Hm?"
"Sejak kapan lo nahan ini buat cerita?" Tanya Jessi sedih.
Hazel hanya tersenyum. "Gue baru aja-"
"Udah sejauh apa sekarang?" Tanya Jessi.
Hazel menghela pelan. "Oke, gue bakal jawab semua." Hazel kembali menghela. "Gue udah daftar beberapa univ dan beasiswa."
"Di mana?"
"Bulan depan gue wawancara online buat Oxfort."
Jessi langsung memeluk erat Hazel. "Gue tau ada banyak hal yang lo sembunyiin dari gue. Tapi, apapun itu, gue janji gue bakal nambah satu ayat dalam doa gue supaya Tuhan mempermudah jalan lo. Tuhan pasti tau semua perbuatan baik lo ke gue, Hazel. Lo pasti bisa masuk ke univ yang lo pengenin." Jessi tak mampu lagi menahan air matanya.
Hazel menepuk punggung Jessi. "Tuhan pasti juga tau perjuangan lo, Jes."
Jessi melepaskan pelukannya. "Pokoknya, lo harus janji sama gue. Apapun yang terjadi nanti, di mana pun lo akan kuliah nanti, lo nggak boleh berhenti telepon gue tiap malem. Kita harus lebih terbuka mulai sekarang, oke?"
Hazel mengangguk. "Kita pulang, yuk? Udah malem, nih."
Mereka pun melangkah beriringan meninggalkan halaman sekolah sembari berbincang ringan.
-oOo-
"Dari mana, Jessi?" Tanya Sarah ketika Jessi masuk melalui pintu utaman.
"Jessi belajar sama Hazel, Ma." Jawab Jessi.
"Ini hari kamis, harusnya Hazel bimbel, kan? Kemana kalian?"
"Hazel nggak masuk bimbel, Ma."
Sarah bangkit dari duduknya. "Kamu tau, Mama nggak suka kalau kamu jadi alasan Hazel bolos bimbel. Mama nggak mau orang tua Hazel marahin kamu, Jessi!"
Jessi hanya diam.
"Hari ini nilai ujian kamu keluar, kan? Mana hasilnya?"
Jessi segera membuka tasnya untuk mengeluarkan lembar nilai hasil ujian. Dengan ragu, Jessi menyerahkannya pada Sarah.
"Kamu tau nilai matematikamu turun, tapi malah pulang malam?" Tanya Sarah ketika melihat satu nilai C dalam lembar nilai Jessi.
"Jessi belajar sama Hazel, Ma."
"Emang Hazel pinter matematika? Dia anak IPS, Jes. Kamu harusnya lebih pinter dari dia." Tegas Sarah. "Sekarang masuk kamar!"
Jessi melangkah pelan meninggalkan ruang tamu. Lamat-lamat, Jessi mendengar Sarah menggerutu karena Neva belum pulang.
Sampai di kamar, Jessi melempar bebas tasnya, lalu melangkah menuju balkon. Jessi menatap ke arah langit sembari menahan agar air matanya tidak terjatuh. Namun akhirnya, Jessi harus menitikkan air matanya.
Ada dua perasaan sakit yang berbeda tengah ia rasakan. Pertama, tentang teguran Sarah yang membuatnya merasa tak berguna. Kedua, kini ia tau bahwa Hazel tak akan bersamanya selamanya. Cepat atau lambat, ia akan berpisah dengan Hazel padahal hanya pada lelaki itu Jessi mampu bergantung.
Tentang Hazel, Jessi begitu ingin terus bersamanya.
-oOo-
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love To Remember (ALTR)
Teen Fiction[A Love To Remember] Seperti dibebaskan, namun merasa dikekang. Kadang, orangtua memaksa kita untuk belajar dan berusaha di luar hal yang kita sukai. Di situlah kita akan merasa kesal, marah, dan menganggap mereka tidak mengerti apalagi menyayangi k...