"Lo nggak perlu pulang, Neva. Gue nggak mau Jessi terus begitu sama lo." Cegah Jefan ketika Neva bersiap untuk pulang.
Neva menatap dalam Jefan. "Gue ngerti kak Jessi, Jef. Itu memang cara dia nunjukin rasa khawatirnya."
"Tapi, Jessi harusnya ngubah caranya itu, Nev. Nggak semua orang paham rasa khawatirnya."
Neva menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Perlahan air matanya mulai jatuh. "Gue ga tau harus gimana lagi, Jef." Keluh Neva. "Meskipun gue seneng tinggal sama lo, tapi gue ngerasa ga tenang. Ada sesuatu yang mengganggu dan mengganjal di hati gue." Jelas Neva.
Jefan bergerak untuk memeluk Neva. "Lo cuma belum terbiasa, Nev. Gue yakin seiring berjalannya waktu lo akan terbiasa." Bisik Jefan.
"Kak Jessi udah tau kalau gue tinggal sama lo. Apa mungkin gue bisa bertahan di sini lebih lama?" tanya Neva khawatir.
"Lo pasti bisa, oke? Percaya sama gue."
-oOo-
Jessi melangkah menuju kantor ayahnya. Tidak ada waktu lagi, ia harus segera memberi tahu kedua orang tuanya tentang keberadaan Neva. Ia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Ayah terlebih dahulu karena ia merasa Jefri akan dapat menyelesaikannya dengan lebih tenang dari pada Sarah.
Setelah berbicara dengan resepsionis kantor, akhirnya Jessi diizinkan untuk bertemu dengan Jefri.
"Ada apa, Jessi?" Tanya Jefri yang khawatir dengan kedatangan mendadak putrinya.
Jessi langsung memeluk erat Jefri, ia mulai menangis. "Maafin Jessi, Pa." bisik Jessi.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Jefri sembari mengelus pelan rambut putrinya.
"Jessi ga bisa jaga Neva, Pa." jawab Jessi dengan nada menyesal.
Jefri tak menjawab. Ia hanya diam sembari memeluk erat putri sulungnya, membiarkan Jessi tenang.
Setelah tenang, Jessi melepaskan pelukannya. "Neva tinggal di rumah temen laki-lakinya, Pa." Ucap Jessi. "Teman laki-laki Neva itu teman sekelas Jessi, Pa."
Jefri masih menatap Jessi yang menunduk. "Jessi, menurutmu kenapa Neva memilih ikut dengan teman laki-lakinya daripada pulang ke rumah?" tanya Jefri.
Jessi mengalihkan pandangannya menatap sang Ayah. Pertanyaan itu tidak pernah ia pikirkan. Selama ini, ia hanya berpikir bahwa Neva adalah pemberontak yang sulit diatur.
Jefri tersenyum. "Neva baru saja beranjak dewasa, wajar saja bila kadang ia merasa menjadi yang paling disakiti di rumah. Papa juga sering mendengar Neva mengeluh di malam hari karena tidak bisa memiliki nilai seperti dirimu. Neva hanya lelah, Jessi. Papa percaya dia pasti akan pulang sendiri nanti." Jawab Jefri.
"Tapi, Pa. Gimana kalau Neva ga mau pulang?"
"Kita buat dia mau pulang, ya? Kita beri dia kasih sayang tambahan sampai dia merasa nyaman kembali untuk pulang ke rumah, oke? Kalau kita paksa Neva pulang, dia akan pulang dengan terpaksa, jadi suatu saat nanti dia pasti akan mengulangi lagi. Kamu paham, kan?"
Jessi mengangguk. Kini ia sadar bahwa telah memperlakukan Neva dengan sangat buruk. Bahkan kata-katanya tadi memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki rasa sayang kepada Neva.
"Kalau gitu, Jessi pulang ya, Pa." Pamit Jessi.
Jefri mengangguk sembari tersenyum.
-oOo-
tok tok tok
Suara ketukan pintu itu membuat Jefan dan Neva terkejut. Mereka sedang menikmati waktu untuk belajar bersama. Jefan segera bangkit untuk membuka pintu.
"Ngapain lo di sini?" tanya Jefan yang mendapati Jessi berdiri di depan pintu sambil tersenyum lebar.
"Besuk UAS Matematika, Jefan. Lo masih jadi tanggung jawab gue. Jadi, gue ke sini buat ngajarin lo matematika, oke?"
Jefan menghela kesal, "Gue ga butuh!" tolak Jefan dengan tegas.
Tanpa menghiraukan Jefan, Jessi masuk ke rumah Jefan. Ketika melewati pintu, Jessi berpapasan dengan Neva.
"Neva!" Jessi segera memanggil Neva sebelum adiknya itu meninggalkan ruang tamu. "Nih!" Jessi menyodorkan kantung kresek berisi kotak makanan.
Dengan ragu, Neva menerima kresek tersebut. "Makasih, kak."
Jessi tersenyum, "Sama-sama." jawab Jessi. Ia pun langsung duduk di sofa ruang tamu, lalu mengeluarkan beberapa buku dari tasnya.
Jessi melempar senyum kepada Jefan. "Yuk belajar. Ini akan jadi kesempatan terakhir gue buat ngajarin lo, kan?"
"Stop, Jessi!" Tolak Jefan. "Lo pikir dengan perlakuan lo bakal buat gue relain Neva pulang?" tanya Jefan dengan nada marah. "Lo dan keluarga lo udah terlalu lama menyakiti Neva."
Jessi bangkit dari duduknya, lalu berusaha tersenyum pada Jefan. "Gue ke sini bukan karena lo, Jef. Gue ga peduli lo mau rela atau nggak Neva pulang. Gue ke sini buat Neva, gue mau buktiin ke dia kalau gue nggak seburuk yang lo bilang ke dia."
"Tapi itu nggak akan berhasil, Jes."
"Gue tau. Gue tau karena lo udah penuhin otak dia dengan omongan lo." Jawab Jessi. "Kenapa lo ga beri kesempatan Neva buat memilih sendiri? Gue yakin Neva sebenernya mau pulang, kan?"
"CUKUP JESSI!" Teriak Jefan. "Cuma gue yang bisa lindungin Neva. Cuma gue yang ngerti perasaan dan apa yang terbaik buat Neva."
"Tau dari mana lo?" balas Jessi.
"Neva yang bilang begitu, Jes! Dia lebih nyaman tinggal sama gue daripada keluarga lo."
"Tau apa lo soal keluarga gue? Lo tu cuma sok tau dan sok menyimpulkan sesuai keinginan lo."
"PERGI DARI RUMAH GUE!" Teriak Jefan.
Jessi terdiam kesal. Ekor matanya menangkap Neva sedang mengintip di dekat Lorong ruang tamu, ia pun segera menatap Neva. "Kalau lo bahagia ninggalin rumah, oke. Gue akan bilang ke Mama dan Papa." Ucap Jessi. Ia pun mengemasi bukunya, lalu pergi meninggalkan rumah Jefan.
-oOo-
Jessi sudah berada di titik lelahnya. Ia sudah tidak tau lagi bagaimana caranya harus membujuk Neva pulang. Ia lelah memikirkan semuanya termasuk UAS yang belum usai, pendaftaran PTN, dan masalah kecil lainnya.
Di atau rumah, Jessi duduk menatap kosong bintang-bintang. Ia teringat terakhir kali berada di atap Bersama Neva. Kala itu Neva berusaha membujuknya agar tidak marah karena masalah yang dia buat, tapi Jessi malah marah besar. Sekarang Jessi sadar, ia terlalu pemarah dan pendengar yang buruk.
"Kak Jessi."
Jessi mengalihkan perhatiannya ketika mendengar suara itu. Itu Neva. Dia pulang.
-oOo-
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love To Remember (ALTR)
Fiksi Remaja[A Love To Remember] Seperti dibebaskan, namun merasa dikekang. Kadang, orangtua memaksa kita untuk belajar dan berusaha di luar hal yang kita sukai. Di situlah kita akan merasa kesal, marah, dan menganggap mereka tidak mengerti apalagi menyayangi k...