He know me.

1 0 0
                                    

Setibanya di rumah, aku langsung menjalani ritual yang sebelumnya sudah ku rencanakan—ya, menonton film. Mengambil beberapa camilan dari kulkas dan sendok untukku memakan ice cream yang sudah ku beli di minimarket, duduk di sofa yang berada tepat berhadapan dengan layar televisi yang mulai menayangkan film yang ingin aku tonton.

Mari ku beritahu kalian bahwa aku punya beberapa kebiasaan, ketika aku kesal atau bimbang aku akan membaca tumpukan buku yang berada di kamarku, mengalihkan pikiranku dengan membaca. Aku bukan type yang dengan mudah bercerita kepada siapapun, aku lebih suka memendamnya sendiri karena aku pikir ketika aku berbagi dengan orang lain belum tentu dia dapat mengubahnya—mungkin orang yang ku beritahu itu malah akan memperburuk keadaan. Ya benar, aku tidak percaya mereka.

Namun, jika aku merasa sangat tertekan bahkan sedih aku memilih untuk menonton film atau berjalan-jalan keluar, mencari hiburan lain. Memang aku terlalu pengecut, mengalihkan segala masalah tanpa mau menghadapinya. Namun, jika kalian menjadi diriku mungkin kalian akan melakukan hal yang sama seperti apa yang aku lakukan. Bukankah manusia hanya memiliki dua opsi? Menghindari rasa sakit dengan menyangkalnya atau bertahan menghadapi rasa sakit itu, yang bisa saja mengubah seseorang menjadi sosok yang berbeda.

Itulah yang aku lakukan saat ini, menonton film untuk menyangkal segala hal yang membuatku tertekan. Bahkan tanpa aku harus menghadapinya aku sudah menjadi sosok baru dalam diriku. Aku memfokuskan diri ke film yang sedang berlangsung, mengalihkan segala hal dengan pikiran-pikiran baru.

Tibalah di akhir cerita, tiba-tiba saja ponselku berdering—tanda sebuah pesan masuk. Aku mengambil ponselku yang sebelumnya ku taruh di meja depan sofa, mengecek siapa yang mengirimiku pesan karena tidak banyak orang yang ku beritahu kontakku. Ternyata sebuah nomor tak dikenal.

+62881xxxxxxxxx
Elara Magnolia Savannah, right?

Aku mengernyitkan dahiku, tidak ada yang tahu nama tengahku. Di sekolah pun nama tengahku disingkat menjadi Elara M Savannah—ya nama panggilan ku Ava diambil dari nama belakangku Savannah. Aku melihat jam yang tertera di ponselku, ternyata sudah jam setengah 12 malam. Orang gila mana yang mengirimi pesan ke orang lain di jam segini, bahkan bukan orang yang dikenal dekat. Aku pun memilih mengabaikannya dan kembali menatap layar televisi yang ternyata sudah menampilkan tulisan-tulisan nama para tokoh. Aku bangkit dari sofa, menaruh camilan dan ice cream ke dalam kulkas, setelahnya aku menuju ke kamar ku yang terletak di lantai dua.

Merebahkan diriku di kasur, kembali memperhatikan pesan yang beberapa waktu lalu dikirim seseorang. Baru kali ini ada seseorang yang tidak ku ketahui mengirimiku pesan, ya biasanya hanya operator. Ponselku kembali berdering, beberapa pesan dari nomor yang sama kembali masuk ke ponselku.

+62881xxxxxxxxx
Penasaran siapa aku bukan?

+62881xxxxxxxxx
Besok pagi di depan rumahmu.

+62881xxxxxxxxx
Sampai bertemu.

Bagaimana orang seperti ini bisa mendapatkan nomor kontak ku, kuno sekali caranya mengirimiku pesan seperti ini. Aku menghapus semua pesannya dan langsung memblockir nomornya. Seharusnya daritadi Aku melakukannya, bukannya malah memberinya kesempatan untuk mengirimiku pesan lagi. Membenarkan posisi tidur ku, memilih untuk tidur karena besok aku harus berangkat ke sekolah.


✖️✖️✖️✖️


Matahari masih belum menampakkan wujudnya. Namun, Aku sudah rapih dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi, masih ada waktu satu jam lagi untuk ku berangkat sekolah. Bel masuk sekolah berdering tepat pukul 06.30 WIB, maka dari itu aku harus berangkat setengah jam sebelumnya. Kalian tahu bukan bagaimana macetnya Jakarta di hari biasa apalagi jika di antar menggunakan mobil, akan menambah waktu lagi.

Aku duduk di depan meja rias, merapihkan rambut dan memoles sedikit wajahku dengan bedak—tidak, aku tidak suka berdandan jika ke sekolah, aku bukanlah type siswi yang berdandan layaknya ingin berpesta jika ke sekolah—aku hanya memakai bedak dan lipgloss bening agar wajahku tidak terlihat pucat. Setelah selesai di meja rias, aku mengambil tas sekolah yang sebelumnya sudah aku masukkan buku-buku pelajaran dan berbagai alat tulis yang di perlukan. Bergegas turun ke lantai bawah untuk sarapan, di meja makan sudah ada nasi goreng dengan telur mata sapi dan segelas air putih yang sudah di siapkan oleh bibi—enak bukan menjadi diriku, segala sesuatu sudah disiapkan, namun ini bukanlah hal yang aku mau. Aku duduk di meja makan dan mulai melahap sarapan ku hingga habis, tak terasa ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.40 WIB. Aku membawa piring dan gelas kotor ke tempat cuci piring, meletakkannya disana.

Aku membuka pintu rumah setelah selesai memakai sepatu, tanpa di duga ternyata sudah berdiri sosok tinggi yang berada tepat di depan pintu. Memakai seragam yang sama seperti ku, yang berbeda hanyalah orang tersebut memakai celana, tas yang hanya tersampir di satu sisi bahunya, rambut pendek yang tertata rapi, serta wangi khas yang menguar dari tubuhnya. Aku masih larut dalam keterkejutan, menatap orang yang tepat berdiri di hadapanku dengan raut tak percaya—tak percaya bahwa orang tersebut saat ini berdiri di hadapanku, tepat di depan pintu rumahku.

"Ava, bareng aku yuk." Ucap orang tersebut yang tidak memedulikan keterkejutan ku.

"Kamu ngapain disini?" Tanya ku dengan mimik wajah yang sudah dibuat sebiasa mungkin agar tidak memperlihatkan bahwa aku terkejut akan kehadiran orang tersebut.

"Lah kan udah di chat semalem." Ucap orang tersebut dengan santai, masih berdiri di tempatnya.

"Oh, jadi kamu yang kirim pesan semalam. Mau kamu apa sih? Ganggu terus." Jawab ku to the point, aku sudah sangat muak dengan orang tersebut yang terus mengangguku.

"Oh iya, nama kamu siapa? Bahkan aku lupa. Jadi gak usah ganggu lagi oke?" Lanjutku dengan nada sinis.

"Alva, di ingat terus ya. Siapa tahu kita jodoh, nama kita kan udah mirip." Jawab Alva dengan senyum di wajahnya, mengabaikan nada bicara ku yang sinis tersebut.

"Udah deh yuk, nanti kita telat." Lanjut Alva dan langsung menarik tanganku, membawaku keluar dari rumah menuju ke motor yang ternyata sudah ada di depan gerbang rumahku

Aku dan dia sudah berdiri di depan motornya, Aku menghempaskan tangan yang saat ini masih menggenggam tanganku—berani sekali dia—memanggil supir yang di pekerjakan ayah untuk mengantar jemput diriku. Mana sudi jika harus berangkat bersamanya.

"Pak Ndang udah panasin mobilnya kan?" Tanya ku ketika Pak Ndang sudah melangkah ke arahku—Pak Ndang adalah supir yang dari kecil selalu mengantar jemput aku, makanya aku cukup kenal dekat dengannya sehingga memanggilnya Pak Ndang yang sebenarnya memiliki nama asli Dadang.

"Sudah neng, Bapak kira mah mau bareng temannya. Soalnya sudah nunggu dari pagi di depan pintu, bapak suruh masuk tidak mau." Jawab Pak Ndang seraya memberitahu ku bahwa Alva sudah berdiri lama di depan pintu rumahku.

Aku langsung melirik ke arah Alva, "sana kamu buruan berangkat, aku mau di antar." Ucap ku seraya berjalan menjauh dari motor Alva dan menuju mobil yang sudah terparkir di luar gerbang rumah.

"Sampai ketemu di sekolah." Ucap Alva yang sudah menaiki motornya seraya memakai helm, menyalakan gas motornya kemudian pergi dari pekarangan rumahku

Sama halnya yang di lakukan Alva, aku langsung masuk ke dalam mobil, menghiraukan ucapan yang di lontarkan Alva, menyuruh Pak Ndang segera mengantarku ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju ruang kelasku. Ketika sudah memasuki kelas aku melihat dia sudah duduk di kursinya, aku melangkah menuju kursiku karena bel sebentar lagi berdering—gara-gara dia yang tiba-tiba saja datang ke rumahku—beruntungnya aku tidak telat.

Tidak ada percakapan antara aku dengannya, padahal pagi tadi dengan mengejutkannya dia datang ke rumahku , tahu nomor ponselku, dan satu hal lagi dia tahu nama lengkapku. Ku rasa dia lebih dari sekedar penguntit, ya meskipun dia tidak membuatku takut, tapi kelakuannya membuatku risih. Entahlah, aku tidak mengerti dengan perilakunya.


••••••••••••••••••••••••

BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang