Rumah itu terlihat sederhana dari luar.
Berpagarkan besi dengan cat warna hitam dan parkiran seluas satu mobil di samping rumah minimalis itu.
Dani tidak terlalu suka jika harus tinggal di rumah itu. Walaupun rumah itu adalah rumah orang tuanya sendiri.
Ia menginjakkan kaki ke dalam rumah. Lengang dengan nuansa hitam putih, menularkan kesan kesepian. Dani melanjutkan langkahnya ke arah kamar yang terletak di samping dapur. Entah sudah berapa lama, ia tak mengunjungi rumah ini sejak saat itu.
Kamarnya masih rapi dengan nuansa warna kesukaannya, navy dan putih. Ia kira semua hal sudah berubah sesuai kemauan papanya, aksen monokrom. Ternyata, papanya belum seburuk itu.
Hanya ada satu bingkai foto kecil di dekat ranjangnya, foto sebuah keluarga. Keluarga bahagia, menurutnya dulu. Foto papa dan mama serta dirinya yang berumur 5 tahun dan anak laki-laki yang lebih tinggi darinya. Dani tak ingat pasti berapa umur anak itu, yang pasti umur mereka sepertinya terpaut cukup jauh. Masalahnya adalah ia tidak tahu siapa anak laki-laki ini, dia tak ingat pernah berfoto bersamanya, dia hanya tahu kalau ia adalah anak tunggal di keluarga ini. Tapi, baginya hal itu tak perlu dipermasalahkan lebih lanjut.
Sekarang, Dani rindu mamanya. Sejak 7 tahun lalu, mamanya pergi dan semua kejadian berlalu terlalu cepat. Dani membuka kacamatanya. Ia lelah memakainya. Matanya tidak bermasalah, tapi ia harus selalu memakai kacamata hitam, dan itu menyiksa. Selama 7 tahun ini, ia harus merubah dirinya sendiri, merelakan kepergian mamanya, dan melakukan misi tak jelas dari orang-orang itu.
Dani merebahkan tubuhnya yang lelah. Semua ini terjadi tanpa ada ujung pangkalnya. Dan ia bodoh karena mau saja untuk melakukannya.
Sebenarnya ada apa ini?
Ketukan pintu menghentikan laju pikirannya, "Masuk."
Seorang gadis membuka pintu kamar Dani dengan raut wajah yang sangat serius. "Benar kalau tas Anda tadi hilang?" Tanyanya tanpa basa-basi.
Dani mengangguk sambil merubah posisinya menjadi duduk bersandar di ranjangnya. "Lagian, udah balik kok, kak. Gak usah khawatir, isinya juga aman."
Gadis itu hanya menatap Dani lama. "Lain kali, Anda harus lebih berhati-hati. Saya adalah penanggung jawab Anda selama Anda masih sekolah. Mereka takkan tinggal diam kalau sampai Anda melakukan kesalahan," ucapnya sambil mengambil posisi duduk di pinggir ranjang.
"Iya, udah 7 tahun gue denger Lo ngomong gitu mulu, kak. Bosen gue. Lagian, tadi Lo bilang katanya Lo di luar negeri, kok udah balik aja, sih?" Tanya Dani bingung.
"Mereka menghubungi saya, memberikan peringatan garis keras untuk memastikan perilaku Anda." Dani hanya mendengus.
Dasar orang-orang lebay!
"Anda sudah makan?" Gadis itu bertanya sambil menggeser-geser tablet di tangannya.
"Gak laper," jawab Dani ketus.
"Anda harus makan. Akan saya delivery kesini."
Dani berdiri mendorong punggung gadis itu. "Gue gak mood makan, kak. Entar aja, kalau gue laper, gue bikin mie. Lo pulang aja, oke. Dah!" Dani menutup pintu sambil bersandar di baliknya.
Ia menghembuskan nafas kesal. Kenapa hari ini banyak sekali yang membuat suasana hatinya buruk. Di rumah, baru saja merebahkan badan, sudah kena omelan. Tadi di sekolah, tas dari orang-orang itu hampir saja hilang. Untung saja masih bisa ditemukan.
Karena gadis dingin itu.
Bagaimana mungkin ia masih mengingat wajah kaku yang cantik(?)dengan tubuh yang hampir sama tinggi dengannya itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Mode
Teen Fiction[UPDATE SETIAP RABU] Dia bukan artis. Dari balik kacamata hitamnya, lelaki itu kerap menemukan hal yang tak bisa ia mengerti sendirian. Mengejar ketidakpastian akan kejelasan yang ada, sekalipun dari sikap diam sesuatu.