Rumah bertema monokrom menyambut Dani. Seorang lelaki paruh baya menyambut Dani di ruang tamu.
Jangan bayangkan penyambutan seperti pelukan ataupun senyuman dari seorang ayah untuk anaknya. Setidaknya dengan ada orang di dalam ruangan itu sambil menatap ke luar jendela di jam pulang sekolah menandakan sebuah penyambutan, menurut Dani.
"Pa?"
Lelaki itu menengok. Kacamata dengan bingkai persegi warna hitam menghiasi wajahnya. Masih sama sejak...lama. Dani merasa sudah lama sekali tidak berkomunikasi dengan papanya. Entah kapan.
"Duduk, Dan." Papa Dani mengambil posisi di sofa single warna hitam. Dani duduk di sofa sebelahnya yang lebih lebar. Melepas tas ransel dan merenggangkan dasi yang serasa mencekik leher.
"Sekolah kamu lancar?" Dani mengangguk. Ia bahkan tidak tahu hendak bicara apa di hadapan papa kandungnya sendiri. Bingung mengurung pikirannya.
"Gimana soal jabatan baru kamu?" Dani menghela nafas.
"Belum dikasih tugas, pa. Baru ketemu partner doang," papa Dani mengangguk. Garis wajahnya yang lelah terlihat semakin jelas.
Papa Dani mengeluarkan sebuah amplop hitam dari saku kemejanya. Menyodorkan ke arah Dani di atas meja kaca. Dani menatap bingung. "Aku punya uang kok, pa."
Walaupun jam terbang Dani sudah banyak terpangkas karena tugas agen resmi itu, setidaknya ia masih punya tabungan untuk jajannya selama mengemban tugas ini. Lagipula, papa Dani tak pernah memberi uang secara langsung begini. Biasanya rekening Dani saja yang akan bertambah setiap bulannya.
"Bukan uang, Dan. Buka dulu," papa Dani tersenyum tipis. Ah, ia sudah lama tak melihat wajah itu menampilkan senyuman. Entah sejak kapan tepatnya.
Rasa penasaran membuat tangan Dani meraih amplop itu perlahan. Ada guratan S.M yang timbul di depan amplop. Sebuah kertas dengan tulisan tangan menyambut pandangan Dani.
Pria itu bersembunyi di balik pagar kerumitan penyakitnya.
Dani menatap sang papa bingung. "Itu tugas kamu, Dan."
"Kok? Dari papa? Kenapa? Maksudnya?" Dani bicara tak jelas. Semua hal terlalu tiba-tiba baginya. Sungguh kejadian tak terduga dibalik penantiannya.
"Kamu kan tau, kalau papa nanam saham di S.M. Kenapa masih kaget?" Dani meneguk ludah. Kabar itu sudah ia ketahui dari Airin. Namun, papa Dani tak pernah membahas soal penugasan khusus darinya untuk jabatan agen resmi.
"Biasanya mereka yang bilang soal clue tugas, pa. Dani cuman kaget aja. Sama gak ngerti apa maksudnya," Dani mengurut pelipisnya pelan.
Sang papa menepuk bahu Dani pelan. "Cari seorang artis pria dengan behel di giginya. Kamu bakal tau apa yang harus kamu selesaikan."
Setelah itu, Dani ditinggalkan lagi.
Sendirian untuk berpikir dalam diam.
'_'
"Permisi."
Senior di kelas unggulan itu menatap Dani heran.
"Aduh, Dan. Pasti nyariin Sifi lagi ya?"
"Sekali-sekali nyariin yang lain kek!"
"Gue juga mau dicariin sama Lo, Dan!""Maaf, kak. Tapi gue ada urusan sama kak Sifi. Dia ada di kelas gak ya?" Gadis-gadis itu mulai melongokkan kepala ke dalam kelas.
"Ada tuh di pojokan," gadis yang sibuk mengipas lehernya itu menatap Dani manja. Lelaki itu segera berlalu setelah mengucapkan terimakasih. Ia pikir, anak kelas unggulan tidak terlalu menyukai hal berbau dunia hiburan. Seperti Friska contohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Mode
Teen Fiction[UPDATE SETIAP RABU] Dia bukan artis. Dari balik kacamata hitamnya, lelaki itu kerap menemukan hal yang tak bisa ia mengerti sendirian. Mengejar ketidakpastian akan kejelasan yang ada, sekalipun dari sikap diam sesuatu.