Jempol dan telunjuk Friska sudah ke-19 kalinya mencubit lengan Dani malam itu.
"Perih, kak! Ini gue yang ngobatin, tapi gue juga yang teriak-teriak," Dani mengusap pipi Friska perlahan.
Gadis itu hanya diam. Berulang kali ia menggertakkan giginya untuk menyalurkan semua sakit yang ada di tubuhnya. Nyata, jika kini dia memang benar-benar lemah.
Lelaki berkacamata itu menatap Friska lamat-lamat. "Kenapa Lo liatin gue kayak gitu?"
Friska membuka matanya perlahan. "Insting Lo kuat ya," puji Dani.
Friska menghela nafas panjang. "Gue tau maksud tatapan Lo. Tentang Gilang, kan?"
Dani menghentikan tangannya yang kini memeras kain basah untuk mengompres pipi Friska. "Gue gak nyangka dia ngelakuin itu. Padahal, dia cowok pertama yang nyapa gue di sekolah kita," Friska mengernyitkan kening, "ini bukan seperti yang Lo pikir. Maksud gue temen cowok, ya, Lo kan tau kalau gue cuman dikelilingi sama cewek-cewek."
Gadis dingin itu memasang ekspresi muntah.
"Jadi, Gilang itu kenapa?"
Friska menghembuskan nafas lelah. "Dia cuman terobsesi sama gue."
Rasa penasaran Dani yang belum tertuntaskan malah diinterupsi oleh suara lain di ruangan itu.
"Danial, nona Friska."
Dua manusia itu menolehkan kepala ke arah pintu yang menampilkan sosok perempuan dengan setelan cokelat beserta tablet di tangan.
"Nona baik-baik saja?"
Friska mengangguk. "Kak, akting Lo bagus banget."
Airin hanya tersenyum tipis, "Hanya sedikit bantuan di kala darurat, nona."
"Thanks, kak," Dani tersenyum lebar sambil mengelap peluh di dahi.
"Saya harus segera kembali. Ada banyak hal yang harus diurus. Semoga kejadian yang sama tak terulang lagi. Saya permisi."
Dani dan Friska pun mengantarkan Airin sampai ke pintu kamar. Bersamaan dengan lelaki yang sejak tadi menunggu dalam diam.
"Mas Fatur?"
Dani dan Airin saling pandang.
Hanya Friska yang mengenal lelaki ini.
"Syukurlah, mbak Sifi baik-baik saja."
Friska mengangguk.
"Mampir dulu," Gibran menggeleng. Beberapa detik pertemuan ini malah membuatnya kelimpungan sendiri. Setelah memastikan Sifi baik-baik saja, lalu sekarang apa?
"Saya gak nawarin, mas. Setidaknya teh manis bisa ilangin haus sementara abis lari-larian di tangga evakuasi, kan?" lelaki bermasker itu terkekeh.
Dani tersenyum canggung.
Airin hanya mampu menerka tak tentu arah.
'_'
Semilir angin malam menerbangkan rintik hujan ke permukaan jendela. Membuatnya berkeringat dingin.
Termasuk 3 orang yang kini berada dalam lingkaran percakapan penuh jeda itu.
"Lo Gibran, kan?"
Lelaki yang dipanggil namanya itu bersusah payah meneguk ludah.
Ceroboh!
Bagaimana bisa ia lupa kalau makan dan minum itu lewat mulut? Sia-sia sudah penyamarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Mode
Teen Fiction[UPDATE SETIAP RABU] Dia bukan artis. Dari balik kacamata hitamnya, lelaki itu kerap menemukan hal yang tak bisa ia mengerti sendirian. Mengejar ketidakpastian akan kejelasan yang ada, sekalipun dari sikap diam sesuatu.