Televisi layar lebar itu kini menampilkan rekaman acara komedi dari cerita kehidupan sehari-hari para komedian.
Gibran tak berminat untuk tertawa. Bahkan saat derai tawa di dalam televisi itu meramaikan suasana.
Mangkuk kosong bekas sup jagung masih tergeletak bisu menemani Gibran. Pandangan lelaki itu pun sama nasibnya dengan mangkuk di atas meja.
Lampu apartemen masih redup saat jam sudah menunjukkan pukul 17.47. Dan Gibran masih tak menyadarinya. Beberapa menit kemudian, suara indah mengalun dari dalam televisi layar lebar itu.
Acara tadi belum berganti menjadi kontes menyanyi. Namun, suara indah itu memang sudah lama ada disana. Sejak Gibran mulai lupa jika ia sebenarnya selalu ada.
Lelaki itu mengerjap. Menatap layar yang menampilkan tulisan Arab dan artinya.
Telinganya menangkap panggilan itu.
Marilah tunaikan shalat.
Gibran meneguk ludah. Sudah lama ia tak shalat. Bahkan ia tak sadar jika azan berkumandang 5 kali sehari semalam. Dan semuanya untuk karirnya. Pencapaian masa mudanya.
Ia merasa berdosa.
Namun, hati itu tak bisa berbohong.
"Ya Allah."
'_'
Gibran tercenung menatap keramaian malam dari apartemennya.
Setelah shalat maghrib-dengan bacaan yang banyak lupa-yang panjang di awal malam itu, Gibran meninggalkan dapur yang berantakan. Beberapa piring dan gelas pecah dibiarkan begitu saja.
Lelaki itu mengusap kasar wajahnya. Baru ingat jika esok hari, ia tak lagi bekerja. Tak lagi bisa menyanyi. Kecuali untuk dirinya sendiri.
Menyedihkan.
Untung saja, handphone-nya tak ikut serta dalam acara pecah belah ria tadi. Tak terbayangkan, jika satu-satunya alat komunikasi yang ia miliki itu ikut hancur.
Sehancur dirinya saat Edo menelepon dan mengusulkan untuk pacaran lagi dengan alasan agar Keyra merasa menyesal. Pun dengan kemungkinan pembersihan nama.
Tentu saja Gibran tak terima.
Di umurnya yang baru saja 22 tahun, ia akan memiliki pacar ke-30 kalinya.
Rekor memalukan.
Cukup Keyra yang menjadi pacar sekaligus mantan terakhirnya. Ia tidak mau main-main lagi.
Karena ia tahu hukum karma itu berlaku. Seperti apa yang ia dapatkan sekarang.
Bosan menatap jalanan, Gibran menatap handphone-nya yang diam tanpa suara. Jika biasanya ia harus menghidupkan mode silent untuk mengatasi ributnya notifikasi, sekarang dengan profil normal saja tidak ada satu pun notifikasi yang masuk walau hanya SMS operator.
Ia melihat galeri foto. Teringat masa-masa emas yang selama ini ia perjuangkan sendirian. Kenangannya dengan teman, teman dekat, teman yang jadi musuh, pacar, mantan, dan kru yang ikut menyumbang dalam 10.415 foto disana.
Ia meringis. Melihat orang-orang disana ikut mengajak keluarganya foto bersama Gibran.
Sang idola waktu itu.
Lelaki itu menggulir layar handphone sampai foto terbawah. Ada foto yang berbeda disana. Foto dari kejauhan dengan pakaian yang gombreng khas zaman dulu.
Hanya satu foto saja.
Ia tersenyum pahit.
Foto papa dan mama serta dirinya yang berumur 10 tahun dan anak laki-laki yang lebih pendek darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Mode
Teen Fiction[UPDATE SETIAP RABU] Dia bukan artis. Dari balik kacamata hitamnya, lelaki itu kerap menemukan hal yang tak bisa ia mengerti sendirian. Mengejar ketidakpastian akan kejelasan yang ada, sekalipun dari sikap diam sesuatu.