Faith(1)

21 9 0
                                    

"Kak!"

Dani terus mengejar Friska. Dan gadis itu sengaja sekali mempercepat langkah di depannya. Menuju kerumunan gadis di sepanjang koridor.

Dani berhenti di tempat. Nafasnya terengah-engah. "Sengaja banget si Friska lewat sini!"

Lelaki itu pun menyerah. Membalikkan badan sebelum menjadi mangsa gadis-gadis lagi.

"Gue tau dimana bisa ngomong lagi sama cewek itu!" Dani menjentikkan jari. Tersenyum sambil menuju ke kelasnya.

'_'

Dani duduk manis di sofa coklat dalam ruangan yang penuh dengan pigura foto dan piala.

Foto keluarga dengan satu orang anak perempuan yang berwajah ceria. Dani tersenyum menatap anak itu. Matanya hanya menangkap pigura foto berukuran besar yang digantung dan tak terlalu mengacuhkan pigura foto yang lainnya di lemari kaca.

Piala-piala sepanjang lengan orang dewasa berdiri gagah dengan kilatan warna emasnya di lemari kaca bagian atas.

Pikiran Dani menebak-nebak siapa pemilik dari piala sebanyak ini saat seseorang menyapanya.

"Ngapain Lo disini?"

Begitulah sapaan yang diterima oleh seorang Danial Bagaskara, selebgram dan youtuber terkenal di rumah partnernya yang malah tak pernah ingin dikenal oleh manusia di bumi.

"Nyariin Lo," jawab Dani polos.

"Mau ngapain?" Gadis itu bersedekap. Memandang Dani datar.

"Kangen?" Dani terkekeh.

Gadis itu mendengus, "Pulang sana! Gue sibuk!"

"Kak Friska, gue-"

"Jangan panggil gue Friska!" Nada bicaranya lebih mencekam daripada backsound di film horor. Dani bergidik ngeri.

"Tapi, kak-"

"Gue udah bilang sama orang-orang itu kalau gue menolak dengan tegas." Dani terdiam.

Otaknya langsung sulit menerjemahkan apa yang ingin ia utarakan tadi. "Tapi, kenapa?"

"Buang-buang waktu." Friska terlihat muak. "Gue gak mau ngomong sama kertas lagi kayak kemaren."

Dani mengernyitkan kening. Untuk sedetik kemudian, ia tertawa.

"Astaga, kak. Ternyata itu alesan Lo? Gue pikir Lo beneran pinter," Dani mengusap bagian bawah matanya yang tertutup kacamata.

"Maksud Lo?"

"Gak mungkin gue nyari partner buat ngomong sama kertas, kak. Gue punya misi yang ditugaskan oleh sebuah badan rahasia. Karena umur gue udah 17, gue butuh gelar agen resmi. Untuk itu, gue dikasih misi yang bakal gue kerjain sama Lo."

Friska tak bersuara. Ia menatap Dani dalam kurun waktu cukup lama setelah Dani terdiam.

"Kak?" Gadis itu mengerjapkan mata. Seolah baru tersadar dari lamunan panjang. "Lo gak apa-apa?"

Friska menggeleng. "Kenapa harus gue? Gue gak bisa."

Dani menghela nafas. Ia juga tidak tahu apapun tentang ketentuan dari orang-orang itu. Segala hal tersusun rapi, terencana, dan terjaga rapat dari keramaian.

Sejak bertemu Airin, Dani tak pernah bertanya kenapa dan bagaimana dia bisa terlibat dengan semua ini. Airin terlalu berisik. Dan ia terlalu sibuk. Segalanya berjalan dengan konsep yang telah diatur. Bukan dengan keinginan dirinya sendiri.

Dan ia tak mengerti.

"Gue gak tau soal itu. Kan Lo dihubungin duluan sama mereka." Friska pun mendudukkan diri di atas sofa coklat. Wajah gadis itu mulai terlihat mengekspresikan rasa lelah.

"Mereka cuma bilang satu kalimat sama gue, kalau cinta itu akan menjemput pada waktunya," gadis itu menatap kosong. Dani bingung hendak menanggapi bagaimana.

"Ya gitu kak. Mereka ngasih clue yang susah buat dimengerti. Tapi, gue bingung maksud cinta yang mereka bilang sama Lo. Itu maksudnya gue cinta sama Lo gitu?"

Friska melirik Dani sekilas. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menggelengkan kepala pelan. Tertunduk dalam.

"Kak," Dani memanggil lembut. "Di luar alasan apapun Lo dipilih sama mereka buat jadi partner gue, gue mohon sama Lo, please bantu gue."

Tatapan Friska sayu. "Bisa Lo jelasin sama gue, siapa mereka?"

Dani mengangguk kuat-kuat.

"Gue sebenernya gak terlalu suka nyebut nama mereka. Karena mereka adalah badan rahasia. Namanya Silent Mode. Sebuah badan yang mengurus masalah orang-orang untuk menjaga nama baik, bisa artis, pejabat, atau orang biasa yang memang membutuhkan. Gue bisa dibilang gak sengaja bergabung pas umur 10 tahun. Gue berteman dekat dengan cewek umur 15 tahun yang kaku. Yang gak bisa ngomong tanpa bahasa baku dan hidupnya harus ikut aturan yang berlaku. Dan ternyata gue sengaja dipertemukan dengan dia, buat jadi penanggung jawab gue sampai umur gue 17 tahun. Setelah 17 tahun, gue udah bisa berdiri sendiri, jadi agen resmi. Namun, sebelum itu harus ada kasus yang gue usut bareng partner yang mereka tunjuk. Dan ternyata itu Lo, kak."

Friska terdiam. Raut wajahnya tak bisa diartikan. "Jadi gue harus ngapain sebagai partner Lo?"

"Lo cukup selalu ada di samping gue aja, kak," ucap Dani mantap. Friska menyeringai.

"Cheesy banget Lo," Dani mengerjapkan mata dibalik kacamata hitamnya.

"Gue serius kak. Please bantuin gue ya," Dani menangkupkan kedua tangannya.

"Ada syaratnya," Friska menatap lelaki itu serius, "Lo gak boleh panggil gue Friska. Nama gue itu Sifi."

Dani menghela nafas. "Gue tau Lo gak suka dipanggil Friska. Tapi gue peka kalo Sifi itu panggilan yang Lo paksain buat diri Lo sendiri. Gue cuman pengen kita jadi partner sambil saling berteman, kak. Bukan hanya sekedar kerja sama abis itu bubaran. Gue tau kak, Lo itu orang baik. Walaupun Lo ditakutin sama banyak orang di sekolah, gue yakin Lo butuh temen yang ngertiin Lo. Dan gue mau mencoba untuk itu."

Mata gadis itu berkaca-kaca. Namun, ia langsung memalingkan wajah. "Ya udah, terserah Lo aja."

"Tapi Lo mau kan bantuin gue?"

Friska mengangguk singkat. Dani tersenyum.

"Makasih kak Friska."

'_'

-oktaviap

Silent ModeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang