"Permisi."
Semua orang di tempat itu terdiam beberapa saat. Hingga suara teriakan menggema kemudian.
"SIAPA YANG MESEN OJOL NIH?"
Sebelum teriakan mengisyaratkan kesalahpahaman, Gibran mulai bicara lagi.
"Maaf, Mas. Saya bukan ojol," tatapan bingung melingkupi tubuh Gibran, "maksudnya, iya, saya ojol. Tapi, saya gak ada orderan disini. Saya cuma mau ngasih tahu, kalau Mbak Sifi gak ada di tempat kerjanya sejak jam pulang. Saya udah nungguin, bahkan sampai pagi. Gak ada satupun yang liat jejaknya terakhir kali."
Mata-mata mulai saling lirik. "Sifi siapa?"
Gibran menggaruk tengkuknya, "Yang tinggal disini, namanya Sifi, kan?"
"Mungkin maksud Mas itu Mbak Friska. Karena yang tinggal di kamar ini namanya Friska," perempuan dengan seragam resepsionis itu menatapnya tajam, "kenapa Mas nungguin Mbak Friska? Jangan-jangan Mas bikin alasan klise biar kita gak nyurigain Mas ya?"
Gibran mengangkat kedua tangannya. "Saya ojek sewaan Mbak Si-maksudnya Friska untuk anter jemput dia kerja setiap hari. Saya gak nyulik dia, Mas. Beneran."
"Terus Mas ngapain kesini?"
Gibran terdiam. Tanda tanya menggantung di benaknya.
Pertanyaan yang sama terus terngiang hingga sosok lain mendekati kerumunan di hadapannya.
"Lo? Mana Friska?"
'_'
"Masa gak ada yang liat sih disana?"
Lelaki dengan masker itu menggeleng pelan. "Mbak Friska pulang tengah malam karena saya ketiduran waktu mau jemput dia. Udah gak ada lagi petugas stasiun ataupun karyawan lain di sana."
"Maaf, Mas Dani. Sekarang harapan kita hanya menunggu keterangan dari polisi. Semoga Mbak Friska baik-baik saja disana," resepsionis yang sejak tadi pagi masih setia di kamar Friska menunggu kabar baik yang tak kunjung datang itu.
Dani beranjak dari tempat duduknya. Bergegas meninggalkan ruangan orang yang ditunjuk sebagai partner kerjanya itu dengan kondisi suram.
Memutuskan mengurung diri di ruangannya sendirian. Menghela nafas panjang. Menatap ke segala arah tanpa tujuan. Namun, benda pipih di ujung meja yang biasanya tak pernah lepas dari tangan itu menarik atensinya.
"Iya, ini situasi darurat. Seharusnya Lo berguna di saat kayak gini."
Jempol lelaki itu lincah mencari nama yang ia yakini benar-benar bisa membantunya saat ini.
'_'
"Danial."
Dani bergegas mencari sumber suara. Tidak ada satupun orang yang memanggil namanya seperti itu kecuali Airin.
"Kak, kak Friska, gue gak tau. Dia hilang. Atau dia kabur. Gue udah cari. Gak ketemu," nafas Dani terengah-engah. Mencoba bicara di antara sela frustasi di dalam kepalanya.
"Anda harus tenang. Duduk dulu," Dani menurut. Sementara gadis itu mengambil air minum di dispenser, jantung Dani berdetak tak karuan. Perasaan juga pikirannya tak mau berjalan sinkron. Menghela nafas panjang lagi.
Segelas air putih tertangkap oleh indera penglihatan lelaki itu. "Minum dulu," ucap gadis itu sembari mengambil tempat duduk di hadapan Dani.
Dani menatap gelas itu dengan jerih. Meminum seteguk kecil untuk melapangkan kerongkongannya.
Airin diam menunggu. Tangannya kini bebas dari peralatan elektronik yang biasa ia mainkan tanpa terlewat sedetik pun. Wajah itu pun menyiratkan kecemasan walau hanya dari tatapan matanya. Gadis itu selalu mengerti akan keadaannya di saat-saat seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Mode
Teen Fiction[UPDATE SETIAP RABU] Dia bukan artis. Dari balik kacamata hitamnya, lelaki itu kerap menemukan hal yang tak bisa ia mengerti sendirian. Mengejar ketidakpastian akan kejelasan yang ada, sekalipun dari sikap diam sesuatu.