Chapter 18

2.6K 303 27
                                    

"Udah kenyang?"

"Udah kak..."

"Berarti udah happy dong?"

Sontak para maba tertawa, diikuti oleh senyum manis senior di depan. Duduk di atas rumput di tengah lapangan kecil, para mahasiswa dengan tekun memperhatikan senior-senior yang berdiri di depan mereka. Berinteraksi seakan-akan sudah begitu akrab tanpa ada halangan.

"Nah, kalau udah happy, berarti bisa dong kita nyanyikan hymne fakultas." Ujarnya lagi.

Lalu, dalam sekejap lantunan hymne terdengar dalam satuan suara yang seragam.

Wina berada di antaranya, dalam barisan kelompok barunya gadis itu ikut menyanyikan hymne fakultas yang sudah dihapal luar kepala—terimakasih pada Mika! Namun, konsentrasi gadis itu mungkin tak setinggi teman-temannya yang lain, yang terlihat begitu serius hingga mengatur nada agar terdengar lebih merdu. Karena mata gadis itu sibuk berkeliling, mencari keberadaan seseorang tertentu yang sejak awal keberangkatan tak ditemukannya.

Axel Pranata.

"Nyari siapa, Win?" Rifka, yang duduk di sebelah Wina, dengan pandang fokus ke depan diam-diam memperhatikan gadis itu dari sudut mata. Tahu bahwa sejak tadi, Wina tak benar-benar fokus. "Kak Axel ya?"

Nada Wina melenceng sesaat, kemudian menoleh hanya untuk melihat Rifka yang tampak serius menyanyikan hymne-nya. Gadis itu menatap kembali ke depan barisan. "Kenapa gue harus nyariin dia?"

"Karena lu mantan yang terlalu kepo dan gak mau jujur?"

Gadis yang dituduhkan memutar matanya, tak mengindahkan Rifka. Kayaknya nih anak kebanyakan temenan sama Nazwa, nyelekit banget kata-katanya.

Fyi, gak cuma lu yang nyariin doi.”

Wina menoleh, meski bibirnya masih melantunkan hymne fakultas dengan nada sumbang.

“Pacarnya yang cantik dan tajir, masih ingat kan? Nah, dia juga nyariin Kak Axel.”

Raut di wajah Wina berubah, bagaimana bisa dia melupakan Sonia? Tapi bukan itu yang membuat hatinya seakan dicengkram sekarang. Tapi kenyataan bahwa pacarnya saja mencari pemuda itu, apakah pemuda itu menghilang tanpa kabar? Haruskah hal ini dikhawatirkan? Wina ingin bertanya, sangat. Tapi benar apa yang dikatakan Rifka, dia hanya mantan pacar yang terlalu kepo dan tak jujur.

“Yah itu bukan urusan gue juga,” balasnya datar, memainkan liontin di balik kaosnya.

Rifka mengangguk seakan mengerti, “iya sih, lu kan bukan pacarnya lagi. Cuma masa lalu.”

Sakit!

Mereka kemudian menyelesaikan hymne fakultas tanpa mengucapkan apapun lagi. Pada akhirnya, Wina juga hanya bisa menatap ke depan, pada barisan senior yang nyaris dikenalnya semua karena masa orientasi ini. Tapi meski begitu, hatinya tetap saja terasa kosong, karena siapa yang benar-benar dicarinya tak ditemukan dimanapun.

Sebenarnya, apa yang dia harapkan dengan mencari Axel seperti ini? Lagipula, Axel itu apa baginya? Hanya masa lalu yang kembali muncul, atau seorang senior di kampus baru yang dia kagumi? Baginya, apakah mereka satu orang yang sama?

“Win! Jangan bengong, bahaya kalau bengong ditempat kayak gini, kalau kesambet gimana?” Rifka mengulurkan selembar kertas hvs kepadanya.

“Hush!” Wina melotot, lalu melirik pada kertas yang disodorkan Rifka. “Untuk apa?” Ujar gadis itu dengan kernyitan bingung.

Rifka hanya mengedikan kepala ke arah depan. Di sana, Amanda sudah berdiri dengan wajah ceria, memandang adik-adik kelasnya menggunakan mata cerahnya. Dari tempatnya duduk, Wina membayangkan induk ayam yang bahagia melihat anaknya tumbuh sehat. Yah, Amanda memang bisa memberikan kesan yang seperti itu.

Clockwork MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang