Chapter 27

945 123 21
                                    

Sejak pos pertama, kelompok Wina mulai sangat berhati-hati. Menghitung setiap keputusan yang dibuat, dan berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab. Itu berhasil untuk mereka. Lagipula ada Aslan yang tampaknya menghapal buku panduan Universitas dikepalanya sehingga mereka bisa menjawab pertanyaan sulit seperti dasar-dasar pedoman Universitas.

Ada satu kali Aslan tergagap, saat ditanya mars universitas. Mungkin ini adalah satu-satunya bagian yang dia tak yakin. Tapi mereka memiliki Wina yang menghapal hymne itu di luar kepala. Dalam hati, dengan dingin dia berterimakasih pada Mika karena telah membuatnya menyanyikannya di depan fakultas hingga serak. Mereka bahkan melewati pos ini dengan mulus pada akhirnya.

"Hati-hati, ada sungai kecil di depan. Jadi, kalian harus melompatinya." Senior paling depan berbicara cukup jelas.

Pada saat ini, kelompok Wina tiba-tiba berhenti dan satu demi satu mereka di bimbing. Saat giliran Wina, tangan senior itu meraih kedua telapak Wina dan menggenggamnya. Memandunya pelan-pelan ke depan. "Gak usah gugup, kalaupun kamu terpeleset jatuh, sungai itu gak dalam, gak cukup lebar juga. Paling-paling kamu basah aja. Ikuti aja kata-kata saya. Kalau saya suruh lompat, kamu lompat. Mengerti?"

Wina mengangguk, tapi hatinya was-was. Meski tak dalam, tapi basah-basahan di udara dinging jelas bukan pilihan yang baik. Otaknya mengingat-ingat, bagian perkemahan mana yang memiliki sungai kecil. Seingatnya, sungai-sungai kecil itu ada di dekat air terjun, apa mereka sudah berjalan sejauh itu?

"Oke, sekarang kita menyebrang. Ada batu di tengah sungai, jadi kamu rentangin kaki." Sang senior masih mencengkram telapak tangan Wina dan menariknya maju.

Wina merentangkan kakinya lebar-lebar.

"Oke, jatuhin kaki kamu. Permukaan batunya gak rata, tapi jangan takut saya pegang kamu. Tambahnya lagi."

Wina mengikuti instruksi itu dan meletakan kakinya yang sudah terentang jauh. Seperti yang senior itu katakan, dia benar-benar menginkak batu, dan memang batunya sedikit tak rata. Tapi Wina berhasil seimbang karena tangannya dipegang oleh Senior.

"Sekarang, kamu lompat dengan dua kaki sejauh mungkin. Sisa sungainya gak terlalu lebar. Tapi jaga-jaga aja." Setelah mengatakan itu, sang Senior melepas genggamannya.

Wina agak panik, meraba-raba udara kosong di sekitarnya dan tak berani melangkah jauh. Dia benar-benar tak punya bayangan dimana mereka berada sekarang.

"Ayo lompat sekarang!" Seru senior itu, dari suaranya tampaknya dia sudah berdiri jauh.

Wina ragu-ragu, tapi tak berani membantah. Akhirnya, dengan setengah berjongkok dan menumpukan kekuatan pada kedua kakinya, Wina melompat. "Ah!" Pendaratannya tak begitu mulus, dia baru saja sedikit terpeleset namun dengan segera lengannya ditahan oleh seseorang.

"Tanahnya licin, hati-hati." Itu suara Senior yang membimbingnya tadi. Dia menunggu Wina berdiri dengan benar, mendorongnya beberapa langkah lagi, sebelum melepaskan Wina dan tampaknya menuju mahasiswa berikutnya.

Tapi, yang senior itu tidak tahu, Wina menekuk pergelangan kakinya, dan itu tepat di kaki yang terluka. Rasa nyeri luar biasa membakar kakinya saat ini. Wina bahkan mengeluarkan air mata yang langsung terserap pada scraft di matanya. Sedikit membungkuk dan mencengkram lutut, Wina kemudian berusaha menahan diri untuk tidak menangis dan mengeluh. Karena jika mereka sampai menemukan perban di kakinya, dia harus memberikan penjelasan.

Sudah cukup seksi kesehatan melihatnya dibawa oleh Axel di punggungnya. Itu bukan cerita yang membanggakan, akan runyam jika Sonia tahu.

Tak lama kemudian, mereka melanjutkan perjalanan. Ini akan menjadi pos terakhir yang mereka tuju. Awalnya, perjalanan itu menanjak, kemudian menurun terus menerus. Setiap langkah membawa rasa sakit yang baru di pergelangan kaki Wina. Gadis itu sudah berkeringat dingin. Di dalam hati, dia bertanya-tanya apakah dia membuat keputusan yang tepat dengan diam. Atau apakah kakinya akan baik-baik saja.

Clockwork MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang