Pada saat yang bersamaan, Sehun dan Harin masih terlibat dalam perbincangan mengenai panggilan yang Harin abaikan kemarin. Sehun masih bersikeras bahwa Harin harus memberi tahu Ayahnya mengenai keberadaannya. Karena ia mempertimbangkan apa yang akan Ayah wanita itu lakukan apabila Harin tetap mengabaikan panggilannya. Namun di sisi lain, Harin juga mati – matian mempertahankan prinsip dan egonya bahwa ia tidak mau memikirkan apapun tentang Ayahnya dalam liburan kali ini.
"Bisakah kita sudahi saja perdebatan ini? Aku benar – benar lelah." Harin mendesah sambil memijit pelan pelipisnya yang sudah sakit. Pengaruh alkohol dalam tubuhnya belum sepenuhnya hilang, ditambah lagi sekarang Sehun mengajaknya berdebat. Upayanya untuk mengalihkan pembicaraan beberapa kali daritadi sudah gagal. Sungguh hari yang sempurna bagi Harin.
"Aku berkata demikian juga untuk kebaikanmu," sanggah Sehun cepat. Ia benar – benar prihatin akan kondisi temannya ini. Ia tetap bersikeras karena ia sangat mengetahui apa yang akan terjadi apabila kata – katanya ini dibantah. "Bagaimana kalau Ayahmu marah?"
"Ia pasti sudah marah." Harin menjawab tidak acuh.
"Tentu saja," dengus pria itu tidak sabar. "Harin, kau harus memberi kabar. Kalau kita sudah pulang nanti, aku takut kalau Ayahmu akan mem—"
"Cukup," potong Harin dengan cepat sebelum Sehun menuntaskan kata – katanya. Harin tahu betul apa yang akan dikatakan pria itu. Namun ia juga tidak mau mendengar hal itu meluncur dari bibirnya. Memikirkan kemungkinannya saja sudah membuat tubuhnya bergetar. "Bisakah kita hentikan ini? Aku benar – benar tidak mau ribut denganmu."
"Tapi kau—"
Kali ini omongan Sehun terpotong lagi. Tapi bukan karena Harin yang menyela, namun karena bantingan keras pintu utama yang membuat Harin maupun Sehun menoleh kaget. Rae tampak bersandar di pintu utama itu dengan wajah yang kesal dan seperti menahan tangis. Harin yang sadar akan hal itu langsung beranjak dari tempatnya dan menghampirinya. Ini juga merupakan kesempatan baginya untuk memutuskan perdebatannya tadi dengan Sehun.
"Kau kenapa?" Harin bertanya, sedikit cemas melihat Rae yang masih berusaha mengatur napasnya itu. Sepertinya wanita itu berusaha agar air matanya tidak tumpah. "Kenapa kau pulang sendiri? Aku pikir tadi Chanyeol menyusulmu. Sekarang dia di mana? Jangan bilang kalau ia meninggalkanmu. Huh! Pasti begitu! Dasar pria ti—"
"Park Chanyeol gila!"
Teriakannya membuat Harin berhenti berceloteh. Sementara Sehun yang memperhatikan dari belakang terperanjat untuk kedua kalinya. Mereka tidak menyangka Rae akan memperlihatkan reaksi yang meledak – ledak seperti itu.
"Hey, kau kenapa sih? Kau bisa cerita padaku." Harin mencoba menyusul langkah Rae yang melangkah masuk ke ruang tengah.
Namun belum sempat Rae membuka mulutnya lagi untuk berbicara, pintu utama di dorong terbuka dan memperlihatkan Chanyeol yang sudah hampir kehabisan napas. Pria itu seperti habis berlari marathon untuk sampai kesini jika melihat dari penampilannya yang berantakan, dengan muka yang memerah.
"Yah! Park Rae! Kita belum selesai bicara!" Suara Chanyeol yang berat itu hampir memenuhi seluruh ruangan.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!"
Rae terus menerus berteriak, berusaha meredam kata – kata Chanyeol yang memintanya untuk berhenti. Bahkan Sehun pun tidak digubrisnya dan dilewati begitu saja saat Rae berjalan cepat menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
"Hyung?"
"Nanti saja aku jelaskan. Kalian berdua untuk sementara jangan ke atas dulu, aku mohon. Biarkan aku yang menyelesaikan masalah ini." pinta Chanyeol. "Tenang saja, Sehun." tambahnya lagi saat ia menyadari tatapan khawatir Sehun sebelum ia berlari ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boo Love
Fanfiction"Just because someone looks happy, doesn't mean they are; Because even a white rose has a dark shadow."