"Tumben sekali kau mabuk, Harin." Sehun membuka pembicaraan saat Harin sudah duduk di depannya.
"Ah," ujar Harin singkat sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Tidak seharusnya aku mabuk, ya? Kepalaku masih sakit sampai sekarang. Aku tidak mau mabuk lagi."
"Tidak apa mabuk sesekali. Asal kau tidak sendiri saja."
Harin tersenyum mendengarnya. "Tentu. Aku kan hanya minum kalau sedang bersama kau dan Rae saja. Memangnya pernah aku mabuk sendirian?"
Mendengar hal ini, tatapan Sehun yang tadinya biasa saja menjadi menajam. Harin secara tidak sadar sudah dibawa ke arah pembicaraan yang Sehun inginkan. "Ya, kau pernah."
Harin terdiam. Ia sadar bahwa ia telah salah berbicara. Bibirnya tak lagi menampakan senyum dan pandangannya sudah beralih dari pria itu ke gelas di tangannya.
Keduanya terdiam beberapa saat sampai Harin memutuskan untuk membuka mulut demi menghilangkan rasa canggung yang ia rasakan. Ditatap seperti itu seperti Sehun tak ayal membuatnya jengah juga.
"Rae belum bangun?"
Namun Sehun tetap menjawabnya seakan tidak ada permasalahan serius yang mereka akan bicarakan. "Belum. Mungkin sebentar lagi." ujarnya sambil melihat ke arah arloji di pergelangan tangannya.
Harin terdiam lagi. Ia kebingungan bagaimana caranya mengalihkan topik lagi. Kepalanya yang sakit membuatnya tidak dapat berpikir jernih.
"Harin," panggil Sehun. "Aku mau kau jujur."
Harga mati yang diberikan Sehun dalam nadanya berbicara membuat Harin membeku di tempatnya. Tentu saja, sekarang wanita itu menyadari kemana Sehun akan membawa arah pembicaraan mereka. Topik yang selalu dihindarinya. Sayangnya, Sehun mengetahui semua hal itu. Sama halnya dengan Rae. Namun respon yang diberikan oleh pria di hadapannya ini seringkali membuat Harin seperti ini. Ia takut. Pendekatan yang Rae lakukan dibandingkan dengan Sehun dalam masalah ini sangatlah berbeda. Harin lebih memilih menghadapi Sehun dengan Rae ada di sampingnya, dibandingkan seperti sekarang. Namun sepertinya, kali ini ia harus menghadapi Sehun sendirian.
"Apa itu Ayahmu?"
Harin menelan salivanya. Giginya sudah mengigit bibir bawahnya dengan gugup. Sehun mengenali setiap tindak tanduk wanita itu di kala sedang gugup. Seperti halnya ia mengenal Rae, ia juga mengenal Harin dengan baik. Tidak sulit untuk membaca wanita ini.
"Liburan ini," Sehun menggantung kata – katanya. "Apa Ayahmu tahu?"
"Aku sudah memberi tahu Ibuku." ujar Harin dengan sangat perlahan.
Sehun menghela napas. Tangannya menekan – nekan pelipisnya sesaat mendengar Harin. Dengan Harin tidak menyebut Ayahnya sama sekali dalam percakapan mereka, sudah jelas baginya bahwa ini ada menjadi masalah.
~o~o~o~
"Rae, kau sudah bangun?"
Tanpa menunggu jawaban, Chanyeol membuka pintu kamar Sehun dan Rae. Rae yang sedang duduk di meja rias sambil mengeringkan rambutnya menoleh ke arah pintu dengan tatapan yang kesal.
"Ketuk dulu, Park Chanyeol." Rae menggerutu akan kebiasaan kakaknya itu sambil menyampirkan handuk basahnya di sandaran punggung bangkunya.
"Sopan," Chanyeol memperingati adiknya dan mengambil tempat di ujung tempat tidur untuk duduk. "Sepertinya kau tidak begitu mabuk."
"Sehun selalu membawa minuman penghilang hangover di tasnya. Itu lumayan membantu." ujar Rae. Tangannya sibuk membubuhkan beberapa produk perawatan kulit. "Memang kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boo Love
Fanfic"Just because someone looks happy, doesn't mean they are; Because even a white rose has a dark shadow."