Sembilan

26 3 3
                                    

"Gimana kalo kita lanjut pembahasan abstrak?"

Calla merapatkan bibirnya. Entah mengapa kalimat yang diucapkan Saka terlalu sulit untuk ia bantah. Bahkan setiap kata-kata yang keluar dari sana, seolah membimbing Calla untuk mengikuti.

"Kalo yang ini?" Saka kembali menyerahkan ponselnya pada Calla.

Calla sendiri dengan cekatan langsung menerima. Mengulang kembali apa yang ia lakukan pada potret lukisan di layar itu. Ah, Saka kembali memintanya untuk menelisik.

Sudah bermenit-menit Calla memantengi, tapi otaknya tak kunjung menemukan rasa. Entah lukisan itu terlalu sulit untuk dipahami atau justru ia yang tidak bisa. Menyerah, Calla menggeleng dan menyerahkan kembali ponsel itu pada pemiliknya. "Aku nggak menemukan rasa dari lukisan itu. Em, atau mungkin itu cuma tumpahan cat yang kebetulan? Karena kakak mau ngetes aku untuk memebedakan mana yang lukisan dan mana yang bukan."

Saka tertawa. Kali ini benar-benar tertawa. Bukan sunggingan tipis yang sedari tadi ditunjukkan.

Calla sendiri terkesima dengan tingkah polah Saka yang tertawa. Tawa laki-laki itu menyenangkan.

"Kamu pikir saya sengaja menumpahkan cat warna hitam seperti ini diatas warna merah?"

Calla bungkam. "Jadi--itu kakak yang buat?"

Saka diam. Laki-laki itu tidak membalas ucapan Calla. Gurat wajahnya tenang seolah tak terganggu dengan kalimat barusan.

"Ah maaf ya kak, aku nggak bermaksud."

Saka menggeleng. Menarik bulan sabit kembali. Ah mungkin pemuda itu memang gemar memamerkan lengkungan itu.

"Saya beri nama dia Asa. Nggak cuma kamu yang bilang dia seperti tumpahan cat yang disengaja. Teman saya yang pernah melihat pun juga sama seperti kamu. Tapi bagi saya, abstrak ini memiliki arti yang sangat dalam."

"Kakak suka banget sama ngelukis? Berarti punya galeri sendiri dong?"

"Suka? Emh, sepertinya untuk orang seperti saya tidak bisa masuk kategori itu. Saya buat mereka kalau sedang ingin saja. Untuk galeri--" Saka tertawa sebentar, "saya bukan sepelukis itu sampai punya galeri."

Calla meringis pelan. Tapi otaknya terus bertanya jika Saka selesai melukis, dimana dia letakkan karyanya? Ah tapi Calla diam saja. Perempuan itu merasa seperti mengintrogasi saja.

"Saya memang tidak sering membuat. Tapi kalau sedang ada, ya saya taruh mereka di suatu tempat. Milik teman saya."

Calla mengangguk pelan. Cenayang kah?

"Eh, sudah jam segini. Asik berbincang sampai lupa waktu, ayo saya antar."

Perempuan bersweater maroon itu melirik ponselnya. Melihat angka jam yang tertera dilayar.

"Ah, enggak usah kak. Aku pesan online aja." Tolak Calla halus. Perempuan itu merasa tidak enak saja bila harus merepotkan Saka.

"Saya kan ada disini. Hemat waktu juga kan? Tidak perlu sungkan, ayo."

Calla melirik Saka sekilas. Pemuda itu sudah berdiri dengan merapikan jaket yang ia kenakan.

"Tapi--"

Senyum tipis itu kembali melengkung, "saya memaksa loh."

Ah, Calla kikuk sendiri dibuatnya. Kenapa pemuda di depannya ini terus mengumbar senyum?

Akhirnya dengan segala pertimbangan, Calla pun menurut saja. Diantarkan Saka dengan selamat sampai di depan rumahnya.

"Terimakasih ya kak,"

SincerityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang