Satu

103 26 43
                                    

Sinar pagi yang merembet melalui sela-sela pepohonan itu tak mampu mengalihkan cahayanya ketika berpapasan langsung dengan wajah cantik seorang gadis SMA. Disebelah gadis itu berdiri seorang laki-laki tampan dengan tangan yang saling bertaut rapi.

Senyum keduanya tak pernah luntur seiring langkah pasti yang akan mereka ambil. Sapaan beberapa teman yang berpapasan juga selalu dijawabnya ramah tanpa sedikitpun rasa merendahkan.

"Sudah sampai." Katanya ketika telah berdiri tepat di depan pintu kelas. "Belajar yang bener." Lanjutnya dengan tangan yang mengusap lembut pipi chubby di wajah cantik si gadis.

Senyum gadis itu terukir semakin lebar. Sudah menjadi rutinitas bagi satu pasangan itu setiap paginya. "Iya, kamu juga."

Mata bulatnya mengikuti setiap langkah panjang laki-laki yang tadi membelai pipinya lembut. Menatap lama sampai punggung tegap itu menghilang di belokan sudut.

Setelahnya gadis itu melangkah masuk ke kelasnya yang sudah tergolong ramai. Menuju bangkunya sendiri yang di bagian sebelah sudah terisi oleh Kiya, teman sebangkunya.

"Kebiasaan buat jomblo iri."

Baru saja tas yang tadi digendongnya mendarat tepat di bangku, gadis bername tag Priscanara Calla itu mengalihkan pandangannya ke arah asal suara. Menatap Kiya yang masih saja menelungkupkan kepala di meja dengan bantalan tasnya sendiri.

Calla mengulum senyum yang pasti tak dilihat oleh temannya itu. Kemudian menyusul duduk.

"Udah ngerjain tugas?"

Pertanyaan inilah yang ditunggu-tunggu oleh Kiya. Badan yang tadinya terlungkup itu langsung ditegakkan dan diarahkan pada Calla.

"Ya belum lah! Gue kan nungguin elo."

Nah, kan, kebiasaan Kiya itu. Tanpa berpikir panjang, Calla mengambil buku tugasnya dari dalam tas lalu menyodorkan pada Kiya.

"Gue udah nungguin dari tadi tau. Rela-relain berangkat pagi demi nyalin tugas. Eh elonya malah pacaran dulu." Tangan yang sedari tadi sibuk menulis itu tak membuat bibir Kiya berhenti mengoceh. Calla sendiri heran. Padahal dirinya tak pernah bisa jika sedang menulis dibarengi dengan berbicara.

"Iya maaf, tadi sebenernya aku udah siap dari pagi. Tapi Raka jemputnya mepet."

Satu kebiasaan Calla yang membuat semua orang merasa kalau Calla itu tipe cewek yang baik hati ialah tak pernah berani menyebut 'lo-gue'. Sedikit kasar katanya.

Sebenarnya panggilan seperti itu memang tak menjamin suatu kebaikan seseorang. Tetapi bila itu dikaitkan dengan Calla, tentu saja sikap baik itu tertanam jelas didirinya.

"Ck! Bener-bener deh itu anak satu. Nggak ngertiin banget kalo lagi urgent. Lima menit lagi masuk lagi! Arghh."

"Ki, jangan ngoceh mulu. Nggak selesai nanti."

Calla memang baik. Tapi kalau kata Kiya, Calla itu terlalu polos, telmi juga. Pertemanan mereka yang terjalin sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama dulu memang seperti ini-seperti ini saja. Bila dikatakan pintar, sebenarnya Calla tidaklah masuk kategori itu. Tetapi sifat rajinnya yang mendominasi hingga lebih dimanfaatkan.

Tepat setelah Kiya selesai menuliskan kata terakhir di bukunya sendiri, saat itu juga Bu Rasmi sudah duduk rapi di mejanya.

Kiya menghela napas lega, untung tepat waktu.

Tiga jam berlalu, mapel sejarah sebagai jam pelajaran pertama di kelas Calla itu terasa suntuk dan bukan pilihan yang tepat. Benar sih kelas IPS, tetapi sudah cukup muak untuk tiap harinya bertemu pelajaran itu.

SincerityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang