Pagi tadi Calla berangkat bersama Raka. Sudah pagi-pagi buta Raka kembali ke rumahnya sendiri untuk mempersiapkan peralatan sekolah. Meninggalkan Sandi yang masih pulas dalam mimpi. Dia juga sempat menemui ibu Sandi untuk sekedar pamit. Maklum tipikal ibu rumah tangga yang waktu subuh sudah berkutat dengan air dan pakaian kotor.
Untuk masalah tangan, sempat sih Calla tanya. Tapi Raka hanya membalas habis latihan karate sama Sandi.
"Dah, masuk gih."
Calla mengangguk. Sehabis mendapat elusan di puncak kepalanya, Calla melenggang masuk. Membiarkan Raka meneruskan langkahnya tanpa tungguan dari dia.
"Sandi!"
Sandi menoleh. Laki-laki yang baru berangkat dengan sepupunya itu mendekat. "Kenapa?"
Jujur setelah mendengar satu fakta dari Raka malam tadi membuat Sandi sedikit aneh ketika berpapasan dengan Calla. Takut dia malah keceplosan.
"Em, Raka abis main karate sama kamu?"
"Ha?" Sandi cengo sendiri mendengarnya. Latihan karate apa sih?
"Iya, katanya tadi malem dia main sama kamu terus tangannya jadi lecet gitu."
Sandi menghela napas. Paham sekarang maksud dari main karate yang Calla ucapkan barusan. Didalam hati, laki-laki itu tersenyum ironi. Kebohongan macam apa lagi ini. Hah, mungkin mulai hari ini dia akan sering berbohong pada perempuan itu.
"Woy!"
Sandi sedikit terdorong ke belakang karena dorongan kuat dari Kiya. Tidak tanggung-tanggung memang sepupunya itu. Tenaganya macam kuli bangunan.
"Paan sih? Gila lo."
"Lah elo, ditanya tuh jawab. Bengong mulu kek sapi."
"Wah lo, parah."
"San." Tegur Calla.
"Ah iya, Cal. Tadi malem Raka emang main di rumah." Nah kalau seperti ini kan Sandi tidak sepenuhnya berbohong. Eh bisa dikatakan dia juga tidak berbohong. Pasalnya semalam Raka kan benar main ke rumahnya. Sorry ya Cal.
Calla mengangguk menanggapi. "Yaudah makasih ya."
Sandi mengacungkan jempolnya. Kemudian laki-laki itu berlari menuju kelasnya sendiri.
Sampai disana, Sandi menemukan Raka yang melamun bersandar pada dinding. Berpindah tempat duduk. Raka yang biasanya sangat anti duduk di dekat dinding, sekarang justru menempati tempat itu.
"Tumben."
Raka menoleh. "Capek, pengen sandaran."
"Sejak kapan lo main karate?"
Raka yang tadinya masih bersandar itu kemudian duduk tegak menghadap Sandi. "San lo--lo nggak ngomong apa-apa sama Calla kan?"
Sandi diam. Laki-laki itu masih sedikit belum menerima dengan logika mengenai sindrom yang Raka derita.
Sadar dengan arah pandang Sandi yang mengarah pada tangannya, Raka menarik Sandi untuk mendekat. "Jangan tunjukin sikap seolah-olah lo tau, San." Ucap Raka penuh tekanan.
Setelah itu, Sandi kembali didorong mundur. Sandi melirik sekilas pada Raka. Benar. Dia tidak boleh seperti ini. Laki-laki itu lalu menaikkan sebelah alisnya. "Menurut lo?"
Raka menarik kecil sudut bibirnya. Sandi sudah kembali pada Sandi yang biasanya. Tak lana terdengar dengkusan kasar dari Raka. Keras tanda kesal. Membuat Sandi tertawa lepas. "Aman."
***
Pulang sekolah selepas mengantarkan Calla, Raka berkeliling guna mencari pekerjaan yang mau menampung anak sekolahan. Bekerja dari pukul tiga sampai malam atau waktu hari libur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity
Teen FictionKesakitan maupun kebahagiaan tidak pernah ada yang tau. Entah mana yang bisa diciptakan atau entah mana yang hanya mengikuti alur ketetapan. Mendapati kesakitan lalu menemukan kebahagiaan, atau justru mendapat kebahagiaan lalu menuju jurang kesakita...