Empat

67 18 20
                                    

Calla benar-benar membeli cilok setelahnya. Sebenarnya ia tak benar-benar sebal, justru pipinya bersemu merah karena kelakuan Raka.

"Cie-cie blushing."

Calla mendelik. Ia malu digoda Raka ketika berada di depan orang lain. Apalagi si bapak penjual cilok itu ikut tersenyum kearahnya.

"Pak, saya boleh ambil sendiri ciloknya? Nggak bakalan curang deh, soalnya saya mau ambilin cilok rasa cinta buat pacar saya."

"Rak!" Nada Calla sedikit ditekan ketika memanggil Raka. Malu.

Si bapaknya tersenyum hangat. "Boleh mas, silahkan."

"Wahh makasih, Pak."

Setelah selesai, Raka menyodorkan satu plastik cilok yang diambilnya sendiri. Benar-benar mengambil semuanya sendiri, mulai dari cilok kemudian saus kacang, saus sambal dan kecapnya. Oh iya tusuknya juga. "Nih, cilok rasa cinta."

Calla masih tersenyum malu. Menunduk. Agar wajahnya yang memerah tertutupi oleh rambutnya yang tergerai. "Apaan sih, Rak. Malu tau."

"Haha kamu lucu."

Calla dan Raka pun kembali berjalan beriringan guna mencari tempat duduk. Raka memilih duduk di sebuah tikas pinggir jalan. Yah, walaupun harus memesan makanan atau minuman dari si penyedia tikar tapi Raka tak masalah. Daripada mengajak Calla duduk tanpa alas. Padahal Calla sendiri tidak masalah. Toh udah biasa gelengsoran.

"Pesen, Cal."

"Kamu apa?"

"Kopi aja."

Calla mengangguk. Kemudian berjalan menuju warung penjualnya. "Eh-eh Cal ini uangnya."

"Pakai uang aku aja."

Raka berdiri. "Eh enggak usah. Ini pakai ini aja."

"Enggak, Rak. Aku ada kok. Lagian tadi kamu udah sewa sepeda, udah beli cilok juga. Sekarang gantian."

Raka mengusap wajahnya. Tak menyangka jika Calla memperhitungkan itu. Raka ikhlas. "Kok dihitung gitu sih, kan aku yang ajak kamu keluar. Lagian kamu tadi juga udah beliin air minum."

"Ck, Rak cuma air doang. Udah deh, diem."

Raka kemudian mengangguk. Daripada Callanya ngambek karena aksi hitung-menghitung itu. Ia pun memilih memainkan ponselnya ketika ditinggal Calla. Hingga tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Raka menoleh.

"Sendirian aja bro?"

Itu Sandi, teman sekelas Raka. Yah, bisa dibilang dekat sih. Sebenarnya Raka itu berteman dekat dengan siapapun. Dirinya tidak memilih teman. Asalkan baik dan menerima dia apa adanya. Pembawaan Raka yang supel membuat dirinya banyak teman. Apalagi dia tidak perhitungan.

"Enggak, sama Calla."

Laki-laki itu kemudian mengambil posisi duduk di samping Raka.

"Lo sendirian?"

Sandi menggeleng. Enggan berbicara karena mulutnya penuh dengan cilok yang tadi diambilnya dari Raka.

"Sama sepupu."

Raka mengedarkan pandangannya. Celingak-celinguk tapi tak menemukan siapa-siapa. Hanya beberapa orang yang berlalu lalang dengan gandengannya masing-masing.

"Lagi beli minum katanya."

Raka hanya mengangguk-angguk. Tangannya meraih sekotak rokok yang tadi dikeluarkan Sandi dari saku celananya. Membuka lalu mengeluarkan satu batang.

"Udah berani ngerokok?"

Raka tersentak. Menatap jarinya yang sudah terselempit rokok. Memandangnya bingung dengan kedua alis yang terangkat. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang.

SincerityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang