Dua Puluh Lima

5 1 0
                                    

Pagi ini memang tak seperti pagi biasanya. Tidak ada senyum ramah juga bahan candaan semacam yang lalu-lalu.

Mereka berdua memang berjalan bersisihan, tapi seolah jiwa keduanya tak berada di sana. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Terlebih Calla. Perempuan itu terus diam sejak dari rumahnya. Entah kenapa dia jadi parno sendiri dengan tingkah Raka. Contohnya tadi. Calla sudah was-was juga heboh ketika Raka mengambil pisau. Pikiran perempuan itu langsung lari ke mimpi yang ia dapat semalam. Lagi-lagi mimpi itu mempengaruhi Calla.

Diamnya Calla sepanjang koridor membuat Raka bingung sendiri. Hari ini pacarnya itu memang aneh. Raka rasa, Calla sedikit memberi jarak.

Sapaan beberapa orang yang dilaluinya sebisa mungkin Raka yang menjawabnya. Tidak masalah bila yang dipanggil orang itu adalah Calla tapi yang menjawabnya Raka. Raka tak mau image Calla menjadi jelek hanya karena mood Calla yang pagi ini Raka rasa sedang buruk.

Hingga tiba akhirnya Calla meringis kesakitan. Perempuan itu tersentak dari lamunannya. Menoleh pada lengannya yang dicengkram oleh tangan besar di sebelahnya.

Calla mengurutkan pandangannya. Menurut dari tangan itu hingga sampai di raut wajah si pemilik. Disana, di wajah itu Raka tengah tersenyum menanggapi berbagai sapaan yang mampir.

Raka kembali menyakitinya.

Dengan jantung yang berdebar, Calla berusaha menyingkirkan tangan Raka dari lengannya. Tapi susah. Sekuat apapun tangan Calla mengenyahkan, tetap saja cengkraman Raka tak mau lepas.

Calla sudah terisak. "Rak, Sakit!"

Pekikan Calla mengintrupsi Raka untuk menoleh. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati si kiri sudah mencengkram Calla.

Sialan.

"Cal, k-kamu jangan nangis." Ucap Raka dibarengi dengan melepaskan si dia. Laki-laki itu panik bukan kepalang ketika tangan itu susah menurut. Ditambah lagi suasana koridor yang ramai membuat mereka menjadi pusat perhatian.

Tolong, tolong jangan sakitin Calla.

Selepas itu, akhirnya cengkraman Raka berhasil lepas.

"Cal, aku--aku minta maaf."

Calla yang sudah meluncurkan air mata itu menggeleng pelan. Menatap takut pada Raka yang terengah-engah.

Tanpa ucapan apapun lagi, Calla berlari secepat mungkin. Meninggalkan Raka yang sekarang tengah memaki dalam hati.

Melihat Calla yang kembali ketakutan membuat laki-laki itu merasa bodoh. Bodoh karena ia kembali mengulang hal yang sama. Yang berbeda hanya posisi. Dimana kondisi yang pertama Raka tidak tau apa-apa karena tidak tau, sedangkan posisi kedua-- saat ini Raka tau mengenai AHSnya.

Baru saja Raka hendak mengejar Calla, bahu laki-laki itu sudah ditahan oleh seseorang dari belakang. Raka menoleh. Menemukan Sandi bersama Kiya disana.

Tatapan mata Sandi yang seolah bertanya kenapa dijawab Raka dengan bola mata berlarian. Sampai akhirnya Sandi sadar dan melirik ke tangan kiri Raka. Kemudian pandangan laki-laki itu mengeliling, menemukan semua siswa yang berada di koridor menatap ke arahnya.

"Calla--" ucap Raka setengah bingung. Kentara sekali getaran pada suara Raka yang lirih.

Merasa paham Sandi pun meminta Kiya untuk menyusul Calla. Tidak mungkin ia melepaskan Raka untuk menemui Calla dalam kondisi semacam ini.

Kiya yang merasa paham, walau masih sedikit bingung pun berlari membelah kerumunan. Tujuan yang paling utama ia inginkan adalah segera sampai di kelasnya.

Sampai di kelas, Kiya mendapati Calla yang tengah menelungkup. Bahunya bergetar.

Kiya pun segera menghampiri. "Cal?"

Mendengar suara Kiya, Calla mendongak. Memperlihatkan wajah penuh air mata itu pada sahabatnya.

Kiya yang masih terengah-engah akibat berlari itu pun segera memeluk Calla. Menepuk-nepuk punggungnya berusaha menenangkan.

Kiya tidak tahu apa penyebabnya. Tapi yang jelas Kiya yakin ada hubungannya dengan tangan Raka. Ini diperjelas dengan raut sadar tidak sadar Raka yang ditunjukkan tadi.

Bisikan teman-teman kelas Calla yang kepo dengan aksi peluk memeluk itu pun tak malu bertanya terang-terangan pada Kiya yang menghadap mereka. Untuk yang sedikit malu, mereka menggerakkan bibir dengan pola 'kenapa?'

Kiya menggeleng. Perempuan itu tidak mau membuka suara apapun.

Lima menit lagi, bel mulainya pelajaran akan dimulai. Tapi Kiya belum juga merasakan pelukannya akan dilepas. Bahu bergetar Calla juga masih terasa dalam dekapnya.

"Cal, udah mau bel. Kita ke kamar mandi ya, cuci muka."

Calla perlahan melepas peluknya. Menunduk dalam karena tidak mau wajah sembabnya terekspos oleh teman-teman yang lain.

Kiya pun membawa Calla keluar kelas. Berjalan pelan karena mengikuti langkah Calla yang juga pelan. Sampai di pintu kelas, Kiya mendapati Raka dan Sandi yang berdiri selang satu kelas. Jelas sekali raut bersalah Raka di mimik wajahnya. Laki-laki itu juga terkesan lemah ketika mendapati Calla terus menunduk menutupi wajahnya dengan surai.

Raka sudah mau beranjak sampai Sandi kembali menahan bahu laki-laki itu. Dalam diamnya, bibir Kiya bergerak membentuk kata 'jangan' sembari menggeleng.

Setelah mencuci muka, Calla diantar Kiya menuju UKS. Perempuan itu terlihat pucat dengan jejak air mata yang belum mengering.

"Ki, aku takut. Hiks...."

Dengan kondisi semacam ini, Kiya pun tidak tega ketika harus meninggalkan Calla sendirian. Jadi, Kiya pun memilih untuk izin tidak mengikuti pelajaran entah sampai jam ke berapa.

Dua perempuan itu duduk di ranjang UKS dengan Calla yang duduk bersila di bagian tengah, kemudian Kiya yang menyamping dengan kaki menjuntai ke bawah. "Ada yang mau lo ceritain?"

Calla menunduk. Tapi tangannya merogoh ponsel yang berada di saku. Cukup lama Calla mengotak-atiknya sampai akhirnya memberikan ponsel itu pada Kiya.

Kiya menerima dengan raut bingung. Sampai ketika matanya melihat ke arah ponsel itu Kiya pun melotot. Dia melirik Calla sekilas. Dari mana Calla memperoleh video ini?

"Lo dapet dari mana, Cal?" Tanya Kiya yang masih syok dengan video yang barusan ia tonton.

Kiya memang sudah tahu kejadian itu. Tentunya dari Sandi. Kiya memang sempat melihat Sandi membawa Raka ke UKS tempo hari. Tapi ketika itu tidak ada yang menjelaskan karena keduanya-- Raka juga Sandi-- pikir Kiya tidak tahu apa-apa tentang AHS Raka.

Melihat kedatangan Raka dengan buku-buku jari mengalirkan darah membuat Kiya sempat mual. Dia tempo hari memang sedang berada di UKS. Maklum, datang bulan hari pertama memaksa Kiya untuk berdiam diri di ruangan itu.

"Nggak cuma itu, Ki. Tadi buktinya. Raka cekal aku. Dia nyakitin aku lagi setelah dia pernah janji untuk nggak ngulang kejadian yang sama. Tapi nyatanya apa? Bahkan sekarang dia berani kasar di depan umum."

Kiya hanya mendengar sebatas itu. Pasalnya kalimat-kalimat sebelumnya telah ditelan oleh lamunan Kiya.

"Raka bahkan bisa senyum-senyum."

Itu karena dia enggak sadar, Cal.

"Sekarang dia tuh berubah. Kasar, suka nyakitin orang."

Lo nggak tau Cal, dia sakit. Dia juga nggak mau kaya gini. Ini semua bukan kehendak dia.

"Aku takut sama dia, Ki."

Luruh sudah tubuh Raka di balik tembok luar UKS. Callanya ketakutan.

***

Bab dua puluh lima

Waw waw

Salam,
Semoga suka❤

SincerityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang