BANTU TEMUKAN TYPO :)
*Minggu pagi aku dan Atalaric berencana untuk lari-lari muter komplek, siapa tahu nemu yang bening-bening.
Aku sudah siap dengan training hitam panjangku, dan kaus abu-abu tipis. Rambut lurusku sengaja aku cepol, yang kemudian aku tutupi dengan topi hitam bertuliskan 'Hi' milik Atalaric yang waktu itu aku curi.
Atalaric masih di kamar mandi, menuntaskan panggilan alamnya.
Oh iya, kaus yang aku pakai ini juga milik adik tercintaku. Aku ini memang berbakat mencuri, tapi mana ada pencuri yang memakai barang curiannya di hadapan sang pemilik? Cuma aku doang kayanya yang berani.
"Mau lari-lari, Kak?"
"Iya."
"Ayah ikutan, boleh?"
"Boleh."
Atalaric keluar dari kamar mandi tepat ketika ayah selesai memakai sepatunya. "Ayah mau kemana?" tanyanya.
"Mau ikut lari-lari," jawab ayah, santai.
Atalaric menepuk pelan kepalaku. "Bangga banget pakai barang curian, ya?" sindirnya.
Aku mendengus, menarik tangan kirinya lalu aku putar. Bodo amat kalau dia kesakitan.
"Ayah, kakak jahat," rengek Atalaric.
Demi apa, Atalaric ini manja. Entah sama ayah atau sama ibu. Berbeda denganku yang lumayan mandiri.
Ayah tak menggubris, pria paruh baya itu dengan santai keluar terlebih dahulu. "Ayo cepat, nanti panas," teriaknya dari luar.
"Kak, lepasin!"
"Ampun, nggak?"
"Iya, ampun."
Atalaric mengelus-elus tangan kirinya. "Gila aja, cewek kok kaya cowok," keluhnya lirih.
"Aku dengar!" seruku.
"Ini namanya taman komplek," ujar Ayah.
Aku dan Atalaric kompak mengangguk. Siapa juga yang nggak tahu taman komplek ini, dari lahir saja aku dan Atalaric sudah hidup di sini.
Ayah memelankan larinya. "Mau sarapan bubur ayam dulu nggak?" tanyanya.
Atalarik spontan melirikku, meminta pendapat. "Mau," kataku.
"Tapi kalau Mama udah masak buat sarapan gimana?" tanya Atalaric. "Kasihan, nanti nggak ada yang makan," sambungnya.
"Mamamu sedang nggak enak badan, tadi udah ayah suruh buat diam saja di rumah," jelasnya. "Ayah juga sudah telpon Mbok Yeti buat datang lebih cepat."
Aku dan Atalaric kompak menganggukkan kepala.
Ayah menuntun kami menuju warung bubur ayam di seberang jalan, tendanya berwarna kuning. Kata ayah, ini bubur ayam langganannya dulu ketika masih muda.
"Siapa yang mau pesan?" tanya Ayah.
"Biar aku saja," kataku, mengajukan diri.
Ayah mengangguk. "Ayah mau cari bangku kosong dulu," katanya.
Aku menarik lengan Atalaric. "Temani aku," bisikku. Dia tidak menolak, justru berjalan lebih dulu menuju bapak-bapak yang jualan.
"Mang, bubur ayam tiga. Dua lengkap, yang satu jangan dikasih kacang," kata Atalaric, memesan.
Nah, Atalaric sangat hafal apa yang aku suka, dan apa yang aku tak suka. Aku bukan pembenci kacang, tapi aku nggak suka kalau makan bubur pakai kacang.
Bapak itu tersenyum ramah. "Eh. Mas Aric, sama ayah?" tanyanya.
Atalaric mengangguk, tersenyum tipis. "Sama kakak juga, Mang," katanya, menunjuk aku yang terdiam di belakangnya.
"Oke, ditunggu buburnya, ya," kata bapak penjual, lalu kembali meracik bubur.
Atalaric mencari keberadaan ayah dengan aku yang berada di belakangnya. Tinggiku dengan Atalaric jauh. Aku 155 cm, sedangkan dia 172 cm. Padahal dulu tinggian aku. Ah, laki-laki memang cepat tinggi.
"Yah," panggil Atalaric.
Ayah menoleh, mempersilahkan kami duduk. "Ini rekan bisnis ayah, namanya Pak Himawan," kata ayah, memperkenalkan pria paruh baya yang duduk di hadapannya.
"Atalaric sudah besar ya, ini adiknya?" tanya pak Himawan menunjukku.
Hm, aku sudah biasa dibilang adiknya Atalaric kok. Jadi selow saja, Om.
Ayah terkekeh. "Bukan. Ini Zaheen, kakaknya," kata ayah, memegang pundak kananku. Aku hanya tersenyum menatap Pak Himawan.
"Kelas berapa?"
"Sebelas."
"Bungsu saya juga kelas sebelas, sekolah di SMA Garuda," jelas pak Himawan.
"Siapa namanya, Pak?" tanya Atalaric. "Siapa tahu Aric kenal."
Ponsel putih di meja milik pak Himawan berdering. Pak Himawan tersenyum sumringah setelah membaca pesan dari sang pengirim. "Bungsu saya sudah ada di depan," katanya.
"Suruh masuk saja, Pak," kata Ayah.
Pak Himawan mengangguk. "Sudah saya suruh masuk," katanya, lalu mengedarkan pandangan mencari sosok anak bungsunya. "Nah, itu dia," serunya.
Aku dan Atalaric kompak memandang sosok yang ditunjuk pak Himawan. Sosok pemuda dengan kaus hitam dengan celana olahraga pendek berwarna abu-abu berjalan mendekat.
"Sini duduk, samping Papa."
Pemuda itu mendongak, melempar senyum manisnya ke ayahku. Atalaric menepuk lenganku pelan. "Ini maksudnya apaan sih?" tanyanya lirih.
__
Bumi, 30 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIMANYU
Teen Fiction"Kamu pasti bisa, percaya sama aku. Ingat, yang membatasi kemampuan manusia adalah manusianya sendiri. So, believe in yourself and make them proud of you." _ Selamat membaca :)