A | 12

44 14 8
                                    

Bantu temukan typo ya, guys :)
Selamat membaca.

**


"Zaheen!"

Aku menoleh cepat, ada sosok Leonardo berdiri jauh di belakangku melambaikan tangan kanannya. Menyuruhku untuk mendekat. Sepertinya keinginanku untuk pulang harus tertunda.

Ketika aku sudah sampai di dekatnya, Leo melangkah meninggalkanku. Maunya dia apa, tadi mengundangku sekarang malah aku ditinggal sendiri. "Leo!" panggilku.

Leo berhenti melangkah, cowok itu menatapku tajam. "Diem, jalan saja ikuti gue!" suruhnya.

Ok, besok aku akan bilang ke Kela kalau Leo itu aslinya menyebalkan sekaligus menyeramkan, kasihan Kela kalau harus naksir cowok modelan kayak Leo.

Sekarang aku dan Leo berdiri di depan ruang UKS. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan, tapi Leo tadi menyuruhku untuk diam. Lebih baik diam daripada mendapatkan tatapan mengerikan dari Leo.

"Heen, lo masuk!" suruh Leo. "Nanti kalau ada sesuatu hubungi gue aja lewat Instagram, gue udah follow lo tadi," kata Leo. Lalu cowok itu melangkah meninggalkanku sendiri.

Bentar, otakku masih bergerak menyimpulkan perkataan Leo. Masuk? Masuk UKS mungkin maksudnya. Baru kali ini aku menemukan cowok yang bicaranya ambigu.

Pelan-pelan aku memutar kenop pintu, ada seorang cowok duduk selonjor di lantai sibuk mengobati luka pada wajahnya. Sepertinya aku mengenal dia.

"Permisi," cicitku pelan.

Cowok dengan seragam putih abu-abu menolah memandangku terkejut. "Zaheen?"

Aku mengangguk, berjalan menghampirinya. "Itu muka kenapa bisa bonyok gitu, habis tawuran?" tanyaku.

Abimanyu menegguk ludah, menunduk. "Simulasi tawuran lebih tepatnya," jawabnya lirih. "Kamu ... ngapain ke UKS?"

"Main," sahutku cepat. Lalu ikut mendudukan diri di samping Abimanyu. Setelah aku lihat, luka di wajah mulus Abimanyu ternyata lumayan banyak. "Nggak susah ngobatin sendiri?"

"Kenapa?"
"Mau aku bantu obatin?"
"Nggak usah, ini tinggal ngasih salep."

Aku mengangguk, kembali memperhatikan Abi yang sibuk mengolesi salep antibiotik pada wajah mulusnya. Jujur, Abi membuat tanganku gatal ingin mengambil alih salep di tangan dia. Gerakan Abi mengoles salep lambat sekali, membuatku gemas.

Tanpa pikir panjang aku merebut salep antibiotik di tangan kiri Abi. "Aku bantu biar cepat selesai," jelasku.

Abi menurut. Cowok itu menghadapkan wajahnya ke arahku. "Pelan-pelan ya, Hen," cicitnya lirih, yang aku jawab dengan anggukan dua kali.

"Tutup mata kamu, Bi!" suruhku.

Abi ingin memerotes, tapi kala melihat wajah galakku Abi kembali merapatkan bibirnya. Menurut memejamkan mata. "Pelan-pelan," kata Abi mengingatkan.

Dengan super pelan-pelan aku mengoleskan salep pada luka di wajah Abi. Bulu mata Abi ternyata lentik, berbeda sekali dengan milikku yang harus pakai maskara terlebih dahulu agar lentik.

"Saya tadi tiba-tiba di serang Brian," cerita Abi. "Dia dari dulu nggak suka sama saya, ditambah sekarang jabatan saya yang jadi kapten sepak bola membuat rasa tidak suka dia ke saya jadi bertambah."

"Kamu nggak ngelawan?"
"Saya lawan."
"Sok jagoan!" seruku, sembari menekan luka di pelipis Abi.

Abi mengaduh, tangannya meremas-remas ujung seragam miliknya. "Pelan-pelan, Hen. Sakit."

"Besok lagi jangan sok jagoan, Bi," kataku menasehati.

Abi mendecak, melipat tangannya di dada. "Bukan sok jagoan, saya emang jagoan!" serunya percaya diri.

Aku memutar bola mata malas. "Kalau jagoan nggak bakal gini mukannya," kataku mengejek.

"Ya sudah, saya superhero."
"Superhero juga nggak akan gini mukannya," jawabku kesal. Abi ini ada-ada saja.

Abi diam lama, cowok itu menggigit bibir bawahnya kemudian berdehem. "Saya pejuang."

"Pejuang?" tanyaku bingung.

Abi mengangguk mantap, membuka matanya menatapku lama. "Iya, saya mau memperjuangkan kamu. Boleh?"























——
See u guys!
Kayaknya part selanjutnya bakalan lama.

Bumi, 3 November 2020

ABIMANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang