Kenapa lagi-lagi setiap hari Senin cuaca seakan bersahabat, padahal kemarin-kemarin hujan selalu menyapa pagiku.
Aku termasuk ke dalam golongan murid yang tidak menyukai upacara rutin di hari Senin. Selain harus lama berdiri aku juga malas mendengarkan wejagan-wejagan dari pembina upacara.
"Heen, ayo baris!" ajak Kela. Gadis itu sudah siap dengan topi di kepala. "Hari ini yang jadi petugas kelas sebelas IPA dua," papar Kela, ceria.
Rupanya Nandan sudah di lapangan, cowok itu sibuk mengatur anak kelasnya. "Heh! Zaheen, Kela, kalian belakang!" seru Nandan.
Aku dengan senang hati melangkah ke barisan kelas paling belakang. Percayalah baris di belakang sungguh menyenangkan, bisa terlindungi oleh teman di depan dari paparan sinar matahari.
Kela tampak kecewa, cewek itu masih berdebat dengan Nandan di depan sana.
"Heen, pasangin dasi gue dong," pinta Rio. Cowok itu baru saja datang, rambutnya seperti belum disisir, seragamnya juga berantakan. Sangat tidak mencerminkan sosoknya sebagai komandan PKS.
Aku mendecak. "Nggak, nanti fans-mu pada cemburu. Nandan aja sana!" suruhku.
Rio ternganga sesaat di depanku. "Ogah," jawabnya. "Lo aja kenapa sih, nih," pinta Rio, memberikan dasinya yang tak berbentuk kepadaku.
Aku melihat tubuh tegap yang akhir-akhir ini sering kulihat. "Abi," panggilku setengah berteriak.
Abi dengan seragam lengkapnya mendekat. Cowok itu menunjukan ekspresi bingung di wajahnya. "Nih, katanya Rio mau dipasangin dasi sama kamu," kataku, memberikan dasi Rio kepada Abi.
Dua cowok di depan ku masih diam. Namun tiba-tiba Rio menuntun tangan Abi untuk memasangkan dasinya di kerah seragam miliknya. "Tolong ya, Bima. Gue nggak bisa pasang dasi," pinta Rio.
Tanpa menolak Abi dengan wajah datarnya memasangkan dasi Rio dengan cepat. Cowok itu bahkan terlihat sudah pro.
Beberapa murid di sekitar melihat kejadian langka itu. Bahkan beberapa ada yang terang-terangan mengabadikan momen itu di ponsel.
"Terima kasih, Bro! Besok gue belajar pasang dasi sama lo, ya." Rio menepuk pelan bahu Abi dua kali.
Abi terkekeh, cowok itu balas menepuk lengan kanan Rio. "Boleh. Saya duluan," pamitnya. Abi menatapku sebentar, cowok itu tersenyum misterius.
"Mimpi apa gue semalam, bisa dipakaiin dasi sama kapten sepak bola. Lo jangan iri sama gue ya, Hen," bangga Rio.
Aku memukul pelan lengan kiri Rio. "Makasih sama aku dong, kan yang bantuin ngomong ke Bima aku," suruhku.
Rio terkekeh. Cowok itu menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Iya, iya. Terima kasih Zaheen," kata Rio, masih ada sedikit kekehan diujung suaranya.
"Berduaan mulu lo berdua," cibir Kela, menyeruak diantara aku dan Rio.
Aku tak menggubris. Cowok di sampingku memandang Kela kesal. "Lo juga baru berduaan sama Nandan di depan."
Kela menatap Rio sinis. "Minggir! Gue baris di samping Zaheen," usir Kela, mendorong kuat punggung lebar Rio.
"Awas lo, Kel. Nanti harus beliin gue batagor, punggung gue sakit didorong-dorong lo!" kata Rio menuntut.
Sekarang aku sedang berada di kantin, menunggu Lyra, Kela, dan Gita berdesak-desakan berebut air mineral. Tak perlu khawatir, aku terbiasa membawa air minum dari rumah. Mama tak pernah lupa menyiapkannya.
"Heen, capek banget gue." keluh Gita. "Lo tau, gue udah pasrah tadi kalau keinjek-injek. Panas banget, di sana," sambungnya, menunjuk kerumunan di depan lemari minuman.
Aku mengangguk paham. "Makannya bawa minum," tuturku.
Lyra dan Kela tampak keluar bersama dari kerumunan itu, mereka berjalan bersama menghampiriku dan Gita.
"Duduk sini dulu, ya," pinta Kela. Cewek itu langsung meminum airnya hingga tandas, sesuatu yang sangat langka.
Gita menggeleng-gelengkan kepala melihat Kela. Ternyata cewek kalem juga bisa menghabiskan air mineral dengan sekali teguk. "Kel, lo keren," puji Gita.
Kela mendengus, meremas bekas botol air mineral lalu melemparkannya hingga tepat mengenai Gita. "Ngejek kan Lo?"
"Kalem, Kel," seruku. "Emosi Mulu dari tadi pagi, kenapa?"
"Gara-gara Nandan. IPA dua kan banyak cogannya, kalau saja tadi gue di depan pasti sangat menguntungkan," jelas Kela.
Gita dengan gemas menyentil pelipis Kela. "Lagian anak-anak juga pada kecewa. Pada taunya Bima yang jadi pemimpin, ternyata si Bima malah main keyboard, nggak kelihatan deh jadinya," terang Gita. "Lo juga mau lihat Bima kan?" tanya Gita memastikan.
"Enggak. Gue mau lihat Leo," jujur Kela.
Lyra membuka air minumnya. "Si Leo tadi jadi pemimpin upacara," katanya santai, lalu meneguk air minumnya.
"Kenapa pada kecewa, Leo keren kok mimpinnya, kharismanya itu loh," kataku berpendapat.
Kela menatapku tajam. "Heen, jangan suka Leo. Saingannya gue, berat."
"Zaheen kan sama Rio," celetuk Gita. "Rio atau Bima, Heen?" sambungnya.
"Kenapa jadi Bima?" tanyaku bingung. Ingat ya, aku hanya memanggil Abi jika ada orangnya, kalau tidak ada orangnya aku sama saja dengan yang lain, memanggilnya Bima.
Gita dan Lyra tersenyum cengengesan, dengan kompak keduanya menatapku lalu tersenyum menggoda. "Gue sama Gita lihat loh, kemarin ada yang dibonceng motor hitam kapten sepak bola," kata Lyra.
"Siapa?" tanya Kela penasaran.
Lyra mengabaikan pertanyaan Kela. Cewek dengan bandana maroon itu memandangku. "Pokoknya kalau Bima berani macam-macam sama cewek itu, gue yang maju paling depan."
Gita mengangguk setuju. "Gue di samping lo, Ra," sahutnya.
——
Terima kasih yang sudah mau baca cerita saya
Vote dan komennya jangan lupa, hehe :v
See u.Oh iya, keyboard yang saya maksud itu kaya gini, nanti ada yang ngira keyboard hp lagi :v
Bumi, 24 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIMANYU
Teen Fiction"Kamu pasti bisa, percaya sama aku. Ingat, yang membatasi kemampuan manusia adalah manusianya sendiri. So, believe in yourself and make them proud of you." _ Selamat membaca :)