A | 5

235 123 39
                                    

BANTU TEMUKAN TYPO :)
*

Aku melangkah beriringan bersama Rio, teman satu kelasku yang memiliki fans banyak. Kami sama-sama mengikuti ekstrakulikuler PKS, jadi nggak salah dong kalau aku jalan bareng sama dia ke ruang PKS?

"Eh, Heen. Ganti baju cepetan, terus ikut gue," kata Fina. Cewek itu berdiri di depan pintu masuk, sudah rapi dengan baju lapangan dan topi di kepalanya.

Aku mengernyit, menatap Fina penuh tanya. "Kemana?"

"Ke kantin bentar, ngisi perut," jawab Fina, cengengesan. "Bolehkan, Pak Komandan?" tanyanya, melirik Rio di sampingku.

Rio mengangguk. "Boleh, asal jangan lupa beliin gue minum."

Fina setuju, cewek itu mengacungkan jempol kanannya. "Cepetan ganti!" serunya kepadaku.

"Dia segaja dilama-lamain, biar bisa ganti sama abang Karel tercinta," celetuk Karel. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja sudah dibelakangku.

Aku mendengus, menendang kaki kiri Karel.





Aku mendengus, menendang kaki kiri Karel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










Matahari sudah mulai menegelamkan diri, langit biru juga sudah berganti dengan cahaya keorenan. Orang bilang ini namanya senja.

Aku benci senja. Senja itu aneh. Kenapa harus memberikan pemandangan sebagus itu kalau akhirnya pergi?

Seharusnya kalau dia memang mau pergi, ya tinggal pergi aja. Nggak perlu ninggalin sesuatu yang begitu indah.

Kalau ada Atalaric di sini, cowok itu pasti sudah menentang pendapatku. Atalaric begitu menyukai senja, entah apa yang membuatnya tergila-gila dengan cahaya keorenan itu.

Atalaric rela pergi ke pantai sore hari hanya untuk duduk di bibir pantai menatap cahaya keorenan yang akan menghilang.

"Belum pulang?"

Pemuda dengan hoodie abu-abu mendekat, ikut duduk di sebelahku. Dia mengeluarkan satu pack yakult dari ransel biru dongkernya. "Mau?" tawarnya.

Aku menggeleng kecil sebagai jawaban.

"Nunggu Atalaric, ya?"

"Iya," jawabku.

Pemuda di sampingku ini mengangguk kecil, tangannya sibuk membuka plastik yang membungkus botol-botol yakult. "Tadi saya lihat Aric sama Danish jalan ke parkiran."

Hah? Duh, Aric ih!
Aku melebarkan mata, menatap lawan bicaraku penuh selidik. "Beneran?"

"Iya."

Aku mengambil ponsel hitamku di saku. Niatnya mau menghubungi Aric, tapi ternyata adikku ini sudah mengirimiku beberapa pesan.

Atalaric:
Kak, aku pulang sama Danish

Atalaric:
Danish katanya mau minjemin komik
Detektif Conan kalau aku mau
ngantar dia pulang.

Atalaric:
Maaf, Detektif Conan lebih berharga.
Babayyy, sampai jumpa di rumah, luv me :)

KALAU GINI AKU PULANGNYA GIMANA, WOIII
AYAH MANA MAU JEMPUT AKU :((

"Gimana?" tanya pemuda di sampingku.

"Apanya?"

"Kamu pulang sama siapa?"

Aku diam, masih bingung. Sebenarnya aku ada uang, cukuplah kalau buat naik angkot. Tapi bisa-bisa mama nanti marah kalau lihat aku pulang pakai kendaraan umum. Hm, ribet juga.

Pemuda di sampingku berdiri, mengambil ransel lalu menyampirkannya ke pundak kiri. "Saya mau pulang."

Dia berdehem. "Kamu mau nebeng?"

Aku mengerjap menatapnya. Masih kurang percaya kalau pemuda ini menawariku pulang bersama.

"Oh, enggak mau?" tanyanya. "Ya sudah, saya duluan," pamitnya, melangkah meninggalkanku sendiri di depan ruang UKS.

Aku melirik jam tangan hitam di pergelangan tanganku, sudah pukul 17:45. Sudah mau Maghrib. Seram.

Aku pun memutuskan untuk mengejar pemuda berhoodie abu-abu tadi. "Woi, tungguin!"

Ih budek. Ganteng-ganteng kok budek. "Woi, nebeng!" teriakku, kali ini lebih keras. Jarak kami tidak begitu jauh, seharusnya dia bisa mendengar teriakanku.

Pemuda berhoodie abu-abu itu berhenti melangkah, menoleh lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Heh! Maksudnya apaan, kok aku ditinggalin.

Sampai di parkiran, aku melihat pemuda itu duduk di atas motor besarnya, tatapannya lurus ke depan. "Jadi nebeng nggak?" tanyanya setengah berteriak.

Aku mendecak, melangkah menghampirinya. "Tadi aku panggil kenapa ninggalin sih, takut tau, sepi."

"Oh, kamu tadi itu manggil saya?"

Budek beneran ya? Wah! "Lah, dikira manggil siapa emang?" tanyaku sedikit sewot.

Pemuda di depanku mengangkat bahunya tak acuh. "Kamu manggil Woi, bukan manggil nama saya."

Aku memutar bola mata frustasi. Bener kata Lyra, dia itu nyebelin. "Aku nggak tahu nama kamu," kataku, bohong.

Dia menepuk jidatnya pelan. "Oh iya, belum kenalan, ya?" Pemuda itu mengulurkan tangan kanannya. "Abimanyu."

"Tangan saya pegel," keluhnya lirih.

Aku melengos, membalas uluran tangannya. "Zaheen."

"Udah kenal," katanya, tersenyum tipis. "Zaheen Ayra Yumna, kakaknya Atalaric. Anaknya pak Yunan."

Emang ya, nyebelin banget.

Bima merogoh sesuatu di kantong depan hoodie abu-abunya. "Ini, tinggal satu buat kamu aja," katanya, memberikan satu botol yakult kepadaku. "Biar muka kamu nggak kesel gitu," sambungnya.

Dengan setengah hati aku menerimanya, lalu kumasukkan ke dalam ranselku. "Ayo pulang," kataku, menepuk pundaknya.

"Abimanyu, biasa dipanggil Bima. Tapi saya maunya dipanggil Abi sama kamu," kata Bima cengengesan, pemuda itu mengulurkan tangan kirinya kepadaku. "Naik!"

Aku mendelik menatap tangannya, males banget pegang tangan dia, mending pegang pundaknya yang tertutup hoodie.

"Kasihan deh sama tangan kiri saya," kata Abimanyu, lalu menarik tangan kirinya.

___

Bumi, 16 Mei 2020

ABIMANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang