"WOI KE AULA, BU LILIS UDAH NUNGGU," teriak Nandan. Cowok dengan ransel merah di pundaknya itu menggelengkan kepala, pusing sendiri melihat teman-teman kelasnya yang sibuk merapikan ransel.
Aku yang berdiri di sebelah kiri Nandan hanya mengangguk-anggukan kepala. Seakan membenarkan apa yang dikatakan Nandan.
Bu Lilis itu guru seni. Di sekolahku, setiap jurusan mendapatkan pelajaran seni yang berbeda. IPA seni musik, IPS seni tari, dan Bahasa seni rupa.
Karena kelasku mendapatkan seni tari, maka tidak memungkinkan untuk diajarkan di dalam kelas. Sempit, banyak meja kursinya.
"WOI! CEPETAN! NANTI BU LILIS NGAMBEK," teriak Rio. "Nanti ketua kelas kita yang ganteng ini juga ikut-ikutan ngambek," lanjutnya lirih.
Nandan menatap tajam pemuda bergingsul di sampingnya, tangan kanannya bergerak menoyor Rio.
"Aku ke toilet dulu, bilangin Bu Lilis," kataku. Lalu ku berikan ransel hitam dan jaket hitamku kepada Nandan. Sesaat Nandan tampak kebingungan, namun tak menolak. "Titip," kataku, setengah berteriak.
Lagu Sugeng Ndalu mengalun merdu di aula. Aku sendiri sudah sibuk memainkan angklung. Temanku yang lain sibuk dengan alat musik masing-masing, beberapa juga sibuk membuat gerakan yang pas dengan ketukan lagunya.
"Musik berhenti dulu," perintah Bu Lilis.
Kompak. Aku dan beberapa temanku yang bertanggung jawab memainkan musik menghentikan tugas kami.
Bu Lilis berdiri di tengah-tengah antara pemusik dan penari. "Gerakan yang kemarin nggak jadi?" tanyanya kepada para penari.
"Nggak, Bu. Beberapa dari kami kesulitan," jawab Kela.
Bu Lilis mengangguk, guru seniku ini memang baik hati. "Pertemuan depan saya minta gerakannya sudah jadi. Untuk pemusik sudah bagus, semangat!"
Tema pelajaran kali ini beda dengan biasanya. Kali ini kami semacam diminta membuat aransemen lagu dan gerakan tari sendiri. Nantinya akan ditampilkan saat HUT sekolah, di lapangan basket.
Biasanya kami hanya diajari tari tradisional dan tari modern. Berbeda dengan anak IPA yang diajari berbagai alat musik, seperti gitar dan lainnya.
Aku suka tema pembelajaran kali ini. Jujur dari awal masuk aku sama sekali tidak bisa menari, bisa dikatakan kaku atau aku menari seperti robot. Tapi, makin kesini aku sudah bisa, walaupun belum begitu luwes, namun sudah tidak seperti robot.
Dari pelajaran seni tari aku bisa mengambil kesimpulan bahwa, sesusah apapun itu jangan bilang tidak bisa, cobalah! Kamu akan merasakan betapa bangganya ketika kamu bisa melakukannya.
"Zaheen, bisa minta bantuan?"
Aku mengagguk. "Bisa, Bu."
Bu Lilis memberikanku sebuah pulpen. "Kasihkan ke Bima. Tadi ibu pinjam lupa belum ibu kembalikan."
"Bima," panggilku.
Pemuda tegap beralis tebal menghentikan langkahnya. "Abi," katanya mengoreksi.
Aku sampai lupa kalau tiga hari yang lalu pemuda di hadapanku ini memperkenalkan diri dan memintaku memanggilnya Abi.
"Iya, Abi," kataku membenarkan. Aku memberikan pulpen titipan Bu Lilis yang diterimanya dengan girang.
"Akhirnya ketemu," kata Bima.
Aku mendengus. "Dari Bu Lilis, katanya terima kasih," jelasku.
Abi alias Bima mengagguk. "Iya. Saya juga terima kasih," katanya.
"Buat?" tanyaku bingung.
"Pulpenya, terima kasih sudah dianterin," kata Abi, menatapku lalu tersenyum tipis.
Bumi, 29 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIMANYU
Teen Fiction"Kamu pasti bisa, percaya sama aku. Ingat, yang membatasi kemampuan manusia adalah manusianya sendiri. So, believe in yourself and make them proud of you." _ Selamat membaca :)