Part 3

1.4K 195 19
                                    

Chanyeol terkekeh serentak dengan suapan terakhir sushinya. Mendengar alasan mengapa Sehun mengajaknya makan ke restoran yang jauh dari kampus mereka agak membuatnya geli.

Tanpa disadari, Sehun merasa agak aneh dengan tawa Chanyeol. Meskipun wajahnya biasa-biasa saja, Sehun paham betul ia merasa berbeda setiap kali melihat laki-laki itu tertawa. Sehun seperti merasa senang tiap kali Chanyeol tertawa.

Anehnya lagi, ia dan Chanyeol bisa sampai sejauh ini. Ia yang tak pernah berteman dan sulit bersosial, tidak keberatan saat diajak berkenalan bahkan becanda layaknya teman lama.

Bukankah niat awalnya tadi hanya menyelamatkan diri dengan tumpangan Chanyeol? Kenapa ia sampai lupa waktu? Kenapa ia sampai keasyikan mengobrol? Bukannya harusnya setelah sampai di restoran ini ia langsung membayar pesanan Chanyeol lalu pulang sendiri dengan taksi? Sehun seperti kehilangan dirinya. Hilang sudah predikat Sehun sebagai makhluk tanpa teman sejagat kampus. Chanyeol pantas mendapatkan tepuk tangan karena sukses mencetak sejarah baru dalam hidup Sehun.

"Memangnya kenapa sampai ayahmu bisa-bisa datang dan menyeretmu di depan keramaian?" tanya Chanyeol lagi.

"Dia ingin membawaku terapi."

Wajah Chanyeol berubah. Senyumnya menghilang sempurna. Terapi? Apa orang di depannya ini sakit? Tapi sejauh yang Chanyeol lihat dia sehat-sehat saja. Tidak ada gangguan pada fisik maupun psikisnya. Ya, terlepas dari aksen cadelnya. Tapi memangnya cadel itu suatu masalah besar? Orang lebay level apa yang menganggapnya demikian?

Seolah paham dengan raut pemuda di depannya, Sehun melanjutkan. "Terapi untuk alexithymiaku."

"Penyakit?" tanya Chanyeol lantaran kata alexithymia terdengar asing di telinganya.

"Bisa dibilang begitu. Tapi hanya penyakit psikis biasa."

"Penyakit jiwa maksudmu?"

"Jika penyakit jiwa yang kau maksud itu gila, tentu tidak. Aku memiliki masalah dengan emosiku, di mana aku tak bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan." dengan sabar sekaligus wajah datarnya, Sehun meluruskan pemikiran awam Chanyeol.

Chanyeol mengangguk paham. Ia akhirnya tahu kenapa sampai sekarang ekspresi yang Sehun berikan hanya datar. Sekalinya tersenyum akan sangat tipis dan terlihat begitu dibuat-buat—cenderung tak ikhlas. Bahkan saat Chanyeol tertawa keras, Sehun tidak ikut tertawa. Ekspresi Sehun akan tetap sedatar garis di kertas double folio. Tapi apapun itu, di matanya Sehun tetap terlihat cantik dengan caranya sendiri.

***

"Jadi kau baru semester 3?" tanya Chanyeol sembari menatap fokus ke arah jalanan.

"Memangnya wajahku terlihat seperti semester berapa?" Sehun balik bertanya.

Chanyeol meringis, "Ah bukan begitu.."

Sehun menaikkan dagu, seolah menanyakan kelajutannya.

"Ku pikir kau seangkatan denganku. Pantas saja temanku dari design visual semester 5 tidak mengenalimu."

"Jadi kau semester 5? Apa aku harus memanggilmu Kak Chanyeol?"

Chanyeol hampir lepas kendali atas mobilnya. Kak Chanyeol. Fuck, it sounds cute! Apa lagi jika Sehun yang mengucapkannya. Bahkan panggilan kak dari Jaehyun yang selama ini ia anggap paling imut, mendadak tersaingi oleh Sehun. Panggilan kak dari junior-juniornya yang pernah jadi kekasihnya juga kalah spesialnya daripada ini.

"Boleh juga jika kau tak keberatan." tutur Chanyeol.

"Baik, kak Chanyeol. Ngomong-ngomong kau dari jurusan apa? Saat mencari jurnalku, aku sempat mencarimu ke fakultas seni lantaran penampilanmu itu. Sebenarnya kau jurusan apa?"

"Aku dari fakultas kedokteran."

"Apa?" pertanyaan kaget yang menurut Chanyeol aneh. Apa seperti ini ekspresi kaget dari seorang alexithymia? Sehun mengucapkannya dengan spontan tapi dengan intonasi cenderung datar.

"Jangan tertipu dengan penampilanku, Sehun."

"Maaf, memang dari penampilanmu tidak akan ada yang menyangka bahwa kau calon dokter."

"Tsk! Kau orang ke sekian yang mengatakannya." kesal Chanyeol. "Jangan sering menilai orang dari penampilannya."

"Tapi juga, terkadang penampilan merupakan mencerminkan kepribadian seseorang." Sehun membalas.

Chanyeol tidak bisa menampik bahwa apa yang dikatakan Sehun ada benarnya.  Sehun cukup bijak dan lumayan nyambung diajak bicara. Membuatnya ingin lebih lama lagi mengobrol dengan laki-laki manis itu. Sayangnya, mereka sudah sampai di depan gerbang megah rumah Sehun.

"Sudah sampai," ujar Chanyeol.

"Terima kasi, kak. Hati-hati." ujar Sehun sebelum ia turun dan menutup kembali pintu mobil Chanyeol.

Tapi Chanyeol buru-buru membuka kaca mobilnya dan meneriaki Sehun yang belum jauh, "Tunggu!"

"Kenapa?"

"Boleh.. aku minta nomormu?" ungkap Chanyeol ragu.

"Untuk apa?"

Chanyeol lantas menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Eeee.. Sebagai tanda pertemanan kita."

"Berlebihan. Sini aku ketikkan." tangan Sehun terulur memasuki jendela mobil Chanyeol yang sudah terbuka sempurna.

Gejolak hebat menerpa dada Chanyeol lantaran mendengar Sehun yang mau memberikan nomornya. Ia langsung memberikan ponselnya. Setelah ini, akan ada hari baik dengan suara atau pesan Sehun yang akan menyapa ponselnya.

***

Sehun tahu ini pasti terjadi. Mulai sejak ia memasuki pintu, ia sudah di sambut oleh wajah Oh Jennie—ibunya—yang cemas. Beberapa pelayan yang sempat mendampinginya, memilih meninggalkan ibu dan anak itu.

Jennie menghampirinya, meraba setiap inchi tubuh putra bungsunya, "Kau dari mana? Kau tidak apa-apa? Kami khawatir, Sehun."

Sehun iba, "Tenanglah Bu, aku hanya keluar sebentar mencari angin."

Ia kemudian membawa Jennie duduk kembali. Detik berikutnya pintu di buka kasar yang bisa ia tebak siapa pelakunya.

Siwon mengeraskan rahang begitu duduk di depan Sehun. Dua ajudan yang sebelumnya mengekor kini berdiri di luar.

"Harus dengan bahasa apa lagi aku memberitahumu, Oh Sehun?!" bentak Siwon.

Sehun bungkam.

"Jawab aku!" pungkas Siwon lebih keras. Sehun masih tak menjawab. Antara tak berani atau kehabisan alasan.

"Sudahlah sayang.." Jennie mengelus punggung suaminya samar.

"Kau juga, berapa kali ku bilang jangan terlalu sering membelanya. Jangan membenarkan apa yang salah, hanya karena kau ibunya," Siwon beralih menegur istrinya. Memang tak sekeras apa yang ia lakukan pada Sehun.

"Bukan begitu. Lagipula, yang Sehun lakukan bukan kesalahan yang besar. Dia tak harus pergi terapi itu pagi tadi kan? Kita bisa mencari psikiatris lain yang jadwalnya kosong sore ini." Jennie masih berusaha meredakan emosi suaminya.

"Benar katamu. Tapi bukankah dia tahu aku pantang dibantah? Aku bahkan tak pernah merasa serumit ini saat Seo Joon masih kuliah dulu." ungkap Siwon. Tanpa sadar ia membandingkan kedua putranya.

Sehun bisa merasakan sakit di ulu hatinya. Ingin menangis tapi tak bisa. Ia paham Siwon sangat marah. Tapi ia tak mengerti mengapa Siwon setega itu membandingkannya dengan sang kakak. "Ayah benar. Aku berbeda dari kak Seo Joon. Kak Seo Joon segalanya, sedangkan aku merepotkan."

The First One • ChanHunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang