Bandung; luka

294 52 0
                                    

Bandung, 26 Januari 2017.


"apa tidak akan ada yang marah jika aku menemanimu selama di Bandung ini —maksudku menemani liburan dengan berkeliling Kota Bandung"

"siapa maksudmu?“

"orang yang kemarin menelponmu misalnya?" aku menatap Johnny yang sedang mengemudikan mobilnya.

"aah~ dia —dia lelaki" Johnny menatapku sekilas, tentu saja eskpresi wajahku terlihat seperti orang kaget "dia adikku" lanjutnya "sedang kemo, dia sakit, leukimia"

Aku menutup mulutku dengan telapak tangan "maaf, John. Aku tidak bermaksud menyinggung"

"kau tidak salah, Lia" ucapnya sambil tersenyum mengelus kepalaku dengan sebelah tangannya.

Rencananya hari ini aku akan menemani Johnny untuk pergi ke toko barang antik. Ternyata Johnny menyukai barang-barang antik. Ia bilang, barang lama memiliki nilai cerita dan tampilan yang mengesankan.

Click!

Johnny memotretku yang sedang melihat barang-barang antik. Aku mendapatkan satu lagi kesukaan baru karena Johnny.

Johnny bilang, ia sangat suka fotografi. Ia juga bilang, kalau aku sangat photogenic, haha ia pasti berbohong.

Jujur saja, aku tak pernah merasa sebegini dekat dengan lawan jenis selain adik dan sepupuku. Aku tak begitu pandai bergaul, padahal banyak orang bilang kalau aku sebenarnya cukup cantik, hanya saja terlalu pendiam dan tak jago merias wajah. Yah, aku sih tak peduli apa kata orang, kalau memang mau berteman denganku dan aku merasa cocok, aku akan senang.

Setelah asik berkeliling toko dan membeli beberapa barang yang Johnny suka —sebenarnya aku sendiri tak tahu ia membeli apa— aku dan Johnny mampir ke sebuah cafe bernuansa vintage yang letaknya tak jauh dari toko antik.

Seperti biasa, kalian pasti sudah mengira kopi apa yang akan dipesan oleh lelaki jangkung mahasiswa kedokteran yang berasal dari Kota dan sedang duduk di depanku ini —huh, apa sih aku ini, haha.

"Hey" lelaki itu membuka suara setelah sekian menit saling diam "kau tahu? Perpisahan itu seperti espresso yang kau bilang pahit" ucap Johnny sambil menatap segelas kopi yang digenggamnya.

"Hmm? Bagaimana bisa perpisahan itu seperti espresso?" Alisku bertautan —aku menatapnya heran.

"Seperti yang kau bilang. Espresso itu pahit, tapi banyak yang menginginkannya" dia kembali menatapku "perpisahan juga seperti itu. Sebagian orang mungkin menginginkan berpisah demi kepentingan mereka, dan sebagian lagi tidak" dia masih menatapku, namun kali ini dengan senyum yang ia paksakan.

Oke. Aku mengerti arah pembicaraannya. Aku ingin sekali mengatakan 'cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi. Bisa kita pulang sekarang?' namun pada akhirnya, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku.

*****

Sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku bertemu dengan Johnny, ia tak pernah lagi terlihat menungguku di cafe sambil menyesap kopi kesukaannya.

Ia juga tak lagi terlihat di teras depan rumahku.

Semudah itu kami bertemu, dan semudah itu pula ia menghilang. Setelah percakapan tentang espresso itu, tak ada lagi perbincangan candaan atau perbincangan random, bahkan ketika di jalan pulang sekalipun.

Saat itu aku bingung dengan gulatan di pikiranku yang masih belum mau menerima kalau maksud Johnny adalah ia akan pergi ke kota asalnya. Dan entah apa yang a da di pikiran Johnny, ia pun tak banyak bicara.

"hati-hati" adalah kata terakhir yang ku ucapkan padanya dan ia tersenyum sambil mengusap lembut ujung kepalaku untuk yang ke sekian kalinya.

Perilakunya sangat manis. Ku rasa, perempuan manapun yang diperlakukan oleh sikap manis Johnny akan menyukainya.

Aku merasa cukup menyesal karena tak menggunakan kesempatan ketika bersamanya dengan baik. Dan aku sangat menyesal karena tak sempat bertanya nomor ponsel ataupun sosial media miliknya.

Kalau tahu akan menyukainya sebegini dalam, aku akan memberikan nomor ponselku ketika hari kedua kami bertemu.

Orang bilang, rasa suka pada seseorang itu hanya bertahan selama tiga bulan. Kalau kamu menyukainya selama lebih dari tiga bulan, bisa dipastikan kalau itu bukan lagi hanya sekadar suka, tetapi sudah masuk tahap cinta. Entahlah, aku sendiri masih tak bisa memastikan perasaan macam apa ini walaupun sudah empat bulan dari terakhir kali kami bertemu.

*****

Bandung, Juni 2018.


Juni, bulan yang sangat tidak aku sukai.
Juni, bulan dimana semua tangis berkumpul.
Juni, bulan dimana dokter mendiagnosa bahwa aku sakit.

Semua memang terjadi atas kehendak Tuhan. Hampir setiap malam aku mendengar ibu yang menangis setelah ditinggal ayah, dan sekarang aku kembali mendengar tangisan tertahan ibu karena harus menanggung beban karenaku.

"kak, gantunganmu jatuh" ucap Doni yang mengambil gantungan bergambar kelinci merah muda.

Aku menerima gantungan kunci itu dan menyimpannya ke dalam ransel kecil yang aku gunakan.

"terima kasih. Ayo cepat, nanti ibu marah" ucapku yang merangkul Doni menuju mobil.

Setelah mendengar bahwa aku sakit, ibu langsung meminta rekomendasi dari dokter untuk pindah ke rumah sakit yang lebih alhi di bidang kanker. Ibu bilang, ia ingin yang terbaik untukku. Namun aku tahu, bahwa sebenarnya, ibu tak ingin lagi kehilangan keluarganya. Cukup ayah, ibu tak mau kehilangan anaknya.

To be continued...

Bandung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang