Tin menatap can yang masih diam menunduk dikursinya, matanya masih sembab dan sesenggukannya masih jelas terdengar. Tin sungguh tidak tau harus melakukan apa karena dia tidak tau apa alasan can tiba tiba menangis.Ae yang juga datang menyambangi kelas can sempat hampir salah pikir mengira bahwa si raja kecil lah yang telah membuat can menangis. Namun setelah mendengar penjelasan tin, ae mamahami maksudnya dan ikut menenangkan can.
"Aku tidak papa. Aku hanya sedikit sedih". Kata can hanya menatap ke lantai dibawahnya.
"Sungguh?". Tanya ae.
"Hmn". Can mengangguk namun tidak menatap mereka. Dia nampaknya masih betah menatap kebawah sana.
Tin dan ae kini saling tatap, mereka habis akal. Mereka tidak tau bagaimana cara membuat can ceria kembali.
"Ekhem!". Dari arah pintu, suara batuk yang terdengar jelas dibuat buat terdengar. "Yang mulia dan ae, keluarlah. Saya yang akan urus ini". Yah dia adalah thara. Dia dimintai tolong oleh pihak sekolah untuk mencari jalan keluar untuk masalah tidak jelas dikelas can.
Semua siswa dan bahkan pengajar dikelas itu, tidak bisa masuk kedalam karena pengaruh aura tin yang panas dan tidak stabil.
Mereka menjadi mual dan sesak, hingga menyebabkan sekolah harus dikosongkan menyisakan si raja kecil, ae, dan can didalam sana.
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~Disebuah tempat makan~
Sore itu, thara terpaksa membawa can pergi dengan teleportasinya untuk menenangkan kegusaran tin dan ae. Thara menjanjikan pada tin, bahwa can akan baik baik saja bersamanya dan ketika mereka kembali, can akan kembali ceria seperti semula.
"Pesanlah semua yang kau mau makan. Meskipun restoran ini tidak mewah, tapi mereka terkenal dengan menu menunya yang lezat. Aku sudah makan disini sejak aku kecil". Kata thara mendorong menu pada can yang masih diam saja. "Can........". Kini thara memanggil nama can sedikit tegas.
"Aku ingin minum ini saja". Kata can menunjuk menu es susu coklat.
"Jangan minum es. Minum coklat hangat saja". Kata thara membuat can sedikit mengkerutkan dahinya
"Kalau begitu kenapa bertanya kalau memang ujung ujungnya paman yang memutuskan?". Cibir can. Kini nada suaranya sedikit lebih hidup.
"Karena aku sudah hidup lama dan berpengalaman. Aku tau mana yang baik mana yang tidak. Sebagai walimu aku tetap akan memberimu kebebasan untuk memilih, namun tetap saja aku akan membetulkan jika pilihan mu salah atau kurang tepat".
"Memangnya umur paman berapa?".
"Kau tidak perlu tau. Tapi aku sudah pantas punya anak sesusia mu jika aku punya istri". Kata thara sembari memesankan beberapa makanan untuk mereka.
"Lalu kenapa tidak menikah?".
"Aku terlalu repot dengan pekerjaan. Lagi pula mengurusi yang mulia tin dan ae sejak bayi sudah membuatku merasa punya dua anak. Aku tidak perlu menikah dan punya anak kandungku sendiri jika hanya untuk merasakan jadi seorang ayah. Dan sekarang, tambah lagi satu yang harus kuurusi". Kata thara melotot pada can dan meletakan pesanan mereka yang barusan datang ke depan can.
"Paman menganggapku sebagai....... anak paman?". Tanya can dengan ekspresi penuh harap membuat thara tersadar hal gila apa yang barusan dikatakannya tadi.
"Huft.......". Thara menghelas napasnya panjang. "Yah.....terpaksa...". Kata thara membuat ekspresi can melembut dan nampak bahagia. Dengan cepat can mengambil alat makannya dan menyuapkan makanan didepannya dengan rakus.