Dua

845 25 0
                                    

ﺍَﻟْﺄُﻧْﺜَﻰ ﺍَﻟْﻬَﺎﺩِﺋَﺔُ، ﺍَﻟﻨَّﺎﻋِﻤَﺔُ، ﺃﻛْﺜَﺮُ ﺿَﺠِﻴْﺠًﺎ ﺑِﻘَﻠْﺐِ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ

Perempuan, yang tenang, nan lembut, ternyata pembuat kebisingan terbesar pada hati lelaki.

***

Pov Ning Haura

"Pak... Masuk gapura yang di depan itu nggih Pak..." Pintaku pada seorang pengendara becak yang membawaku sejak tadi dari stasiun.

"Loh itu kan pondok? Mbaknya mau mondok di situ ya? Bawaannya banyak sekali. Hehe.... "

"Hehe... " Aku hanya tertawa kecil.

"Berapa Pak jadinya?" Tanyaku setelah sampai dan turun dari becak.

"Sepuluh ribu saja..."

"Matursuwun nggih Pak" kataku sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan.

Kuberjalan seorang diri. Melangkahkan kaki menuju ndalem pesantren. Rinduku benar-benar sudah tak tertahan. Ingin sekali meneteskan air mata. Setelah sekian lama tak menginjakkan kaki ditanah ini, bahkan melihatnya pun tidak.

"Aku seperti sedang diperhatikan. Tapi oleh siapa ... Aku risih sekali." Batinku.

Tiba-tiba...

"MasyaAllah putri Umi.... Sudah sampai rupanya... Ayo mbak bawakan barangnya Haura..." Titah umi pada seorang wanita yang membuntutinya.

"Umi sehat?" Tanyaku sambil mencium tangan beliau.

"Sehat Alhamdulillah.... Kamu bagaimana?"

Tanya umi. Rindunya jelas terlihat. Mungkin umi tidak sadar bahwa air matanya sudah jatuh sedari tadi.

"Alhamdulillah ... Haura sehat umi... Abah ada di ndalem?..."

"Ada Nduk.. ayo masuk..."

***

Kamar.

"Oo... Jadi Mbak Haura ini kakak kandungku ya Mi?" Tanya Bilqis. Adik perempuan yang sudah kutinggalkan sejak ia masih berusia tiga tahun.

"Iyoo.. ini Mbakyumu. Dulu dia pergi kuliah ke timur tengah pas kamu masih umur tiga tahun. Jadi yo wajar kalo kamu ndak kenal. Soalnya juga ndak pernah pulang. Sampe tahun ke lima ini lulus. Dan mudik hehe..." Umi menjelaskan panjang kali lebar.

"Assalamualaikum..."

Terdengar sebuah suara berat seorang lelaki khas usia lima puluhan.

"Waalaikumsalam Abah.. masuk saja. Sedang ngobrol ini..." Jawab umi dari dalam kamar.

"Ada yang ingin Abah bicarakan sama Haura. Bilqis keluar dulu..." Titah Abah.

"Nggih Abah..."

"Nduk... Kuliahmu sudah selesai. Lalu apa rencana kedepanmu?", Tanya Abah.

"Haura mau mulang ngaji saja Bah dipondok." Jawabku.

"Lalu gelarmu untuk apa Nduk...."

Aku terdiam.

"Nduk, sekarang mandilah. Pakai baju yang bagus. Temani Abah datang ke pengajian."

"Inggih Abah.." jawabku tak bisa menolak.

Suara desingan mobil terdengar. Aku bergegas. Menyiapkan diri untuk memenuhi perintah abah.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku keluar dari kamar dan berjalan membuntuti Abah. Menuju mobil yang disampingnya sudah ada seorang lelaki berpeci tinggi.

"Nif... Ayo mangkat ! Wes mulai acarane..." Kata Abah.

"Inggih Yai...." Jawabnya sopan.

Aku duduk dibelakang. Sedangkan abah duduk bersebelahan dengan lelaki yang sibuk menyopiri.

"Nif... Agak cepet yo. Wes terlambat soale..." Kata Abah.

"Inggih Abah..."

Beberapa menit kemudian, kami sampai disebuah tempat. Dimana ketika aku dan abah turun dari mobil, abah mendapat penyambutan yang sangat istimewa.

"Nduk, kamu karo Kang Hanif ke ndaleme Sohibul bait saja. Abah nau ngisi pengajian dulu." Kata Abah.

Akhirnya aku masuk ke dalam mobil lagi.
Seruang berdua dengan seorang akang berpeci tinggi yang bernama Kang Hanif.

"Kang.... mmm... Kang Hanif tau dimana tempatnya?" tanyaku sedikit ragu.

"Kang?...."

Namun yang ditanya malah diam saja. Membuatku jadi sedikit dongkol dan malu.

"I...iya.. iya Ning..." Jawabnya gelagapan.

***

Ndalem Sohebul Bait.

"Assalamualaikum...."

Abah berjalan memasuki ruang tamu dimana aku dan Kang Hanif duduk.

Pengajian sudah usai. Sedikit-sedikit jumlah jamaah mulai berkurang. Meninggalkan sepi, dan menyisakan beberapa orang yang sedang menata kursi, menyapu, dan menggulung kabel di atas panggung acara.

"Waalaikumsalam..." Jawabku dan Kang Hanif bersamaan.
Setelah sebelumnya tiada satupun dari kami yang membuka mulut. Sibuk dengan ponselnya masing-masing, dengan suasana ramai, dan dengan orang-orang yang tidak kukenal diruangan ini.

"Monggo... Monggo...." Ucap seorang lelaki berusia seperti Abah. Sepertinya dialah pemilik rumah dan acara tadi.

"Loh, iki to putri mu yang baru pulang dari Mesir?" Tanya beliau.

"Lahiyo... Pie? Ayu to?" Kata Abah.

"Ayu tenan... Sopo jenenge Nduk..." Tanya beliau kepadaku.

"Haura..." Jawabku singkat, padat, menunduk.

"Yowes... Santai-santai dulu lah... Biar saya panggilkan Na'im. Sepertinya dia baru saja pulang mengajar hari ini..." Kata beliau.

Na'im? Siapa dia?

BERSAMBUNG 🙈

Jangan lupa vote, komen, dan follow ya Dear🥰

Akang-akang Berpeci Tinggi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang