Tujuh

424 18 10
                                    


حين الحب يضربنا فلا لماذا ولا كيفَ

Kala cinta menimpa, maka tiada mengapa, tiada bagaimana


Seminggu sudah aku berdiam diri di rumah. Dengan bapak dan ibu yang juga kelihatannya resah.

Tentang Ning Haura.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Apa aku harus menolak titah puteri guruku sendiri?

Ah! Pilihan yang begitu berat. Ini menikah. Bukan hal yang tidak harus dipikirkan baik-baik.

Lagipula, apa gerangan yang membuat Ning Haura ingin menikahiku... Aku tak habis pikir.
Apa dia tidak takut hidup susah denganku? Sedangkan dia tahu bahwa aku adalah lelaki yang miskin harta.

Aku memang menyukainya, tapi bagiku hidup bersamanya hanyalah sebuah mimpi di siang bolong begini.

"Ah... Ning.... Siapa yang tak kagum pada sosokmu itu..."
Gumamku, sambil memangku dagu.

"Le... "

Terdengar suara lelaki dari arah belakangku.

"Eh inggih Pak..." Jawabku.

"Jangan di kamar terus. Nanti penat."
Kata bapak.

"Yusuf ingin menyendiri Pak..."

"Ayo ikut bapak saja..."

"Tapi pak..."

"Sudah, ayo ikut saja."

Sekitar pukul delapan pagi, bapak mengajakku ke sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku.
Sawah.
Tempat dimana bapak menafkahi keluarga kecilnya.
Tempat dimana masa kecilku terbahagiakan.
Tempat dimana aku kini meresah, menggelisah.

Seperti biasa, bapak menyuruhku memetik sayur-sayuran yang sudah pantas diolah. Seperti tomat, mentimun, dan cabai.

Karena luas lahan yang tak seberapa, hasil tanaman kami pun sedikit. Tidak seperti petani-petani lain.

Setelah dirasa cukup,
Bapak mengajakku pulang.
Bergantian.
Kini aku yang harus mengayuh sepeda tua itu. Membonceng sosok ayah yang luar biasa hebat. Luar biasa tabah. Luar biasa istimewa.

"Assalamualaikum...."
Kuketuk pintu sembari mengucap salam.

"Waalaikumsalam... Banyak ndak Le sayurannya?"
Tanya ibu.

"Lumayan Bu... Memangnya buat apasih sayur sebanyak ini?

Nanti malah busuk kalo ndak di masak bu..."tanyaku heran.

"Ndak Le. Ndak busuk.. sekarang kamu mandi. Badanmu pasti bau sekali habis dari sawah kan..."

"Hehehe iya buuu...."

***

"Le... ayo kita berangkat..." Terdengar suara bapak dari luar kamar. Aku yang baru saja selesai sholat ashar langsung menemui bapak.

"Berangkat,? Kemana Pak?"
Aku kebingungan.

"Pondokmu itu le. Katanya mau nikah sama Ning Haura. Kita bawa seserahan seadanya. Dengan sayuran yang dipetik mu tadi."
Kata bapak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Akang-akang Berpeci Tinggi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang