Tiga

669 25 1
                                    


امَ تَفْعَل مَا تَشَاءُ * وَطِبْ نَفْساً إذَا حَكَمَ الْقَضَاءُ

"Biarkanlah hari demi hari berbuat sesukanya *Tegarkan dan lapangkan jiwa tatkala takdir menjatuhkan ketentuan (setelah diawali dengan tekad dan usaha)."

Pov Kang Hanif

Duh Gusti...
Mimpi apa aku semalam? Aku harus berdua di dalam mobil dengan Ning Haura yang cantik bagai bidadari. Matanya agak kecoklatan. Bibirnya merah merona. Bulu matanya lentik. Alisnya tebal. Kulitnya putih. Duh... Bisa-bisa aku gila karena Ning Haura....

"Kang?..."

"I... Iya... Ning...." Jawabku gelagapan. Aku terkejut. Aku baru sadar tadi aku sedang ditanya. Aku malah sibuk dengan pikiranku.
Aku bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Aku tak bisa berkata-kata.

Sesampainya di rumah sohebul bait, aku dan Ning Haura saling sibuk dengan ponsel masing-masing. Tanpa menghiraukan ramainya sekitar. Aku jadi ikut bingung. Dengan keadaan dada yang masih berdegup kencang, aku harus terus-terusan melihat wajah bidadari itu. Meski jauh menyender di tembok bagian sebrang.

Kucoba mengalihkan perhatianku pada ramainya sekitar, pada pengajian abah. Namun gagal. Selalu gagal. Mataku seolah bermagnet pada wajahnya yang menawan. Sampai akhirnya acara pengajian selesai dan Abah memasuki ruangan dimana aku duduk menunggu.
Menunggu saat bisa berdua lagi dengan Ning Haura..
Ah! Astagfirullah Hanif... Istighfar... Istighfar....

"Assalamualaikum...."

Kulihat Abah Yai berjalan memasuki ruangan.

"Waalaikumsalam"..

Jawab seisi ruangan.

Kemudian terjadi perbincangan kecil antara Abah dan Sohebul bait.

"Yowes... Santai-santai dulu lah..biar saya pamggilkan Na'im. Sepertinya dia baru pulang mengajar hari ini..." Kata Sohebul bait.

Na'im?
Oh.. mungkin dia teman lama Ning Haura.

Tak lama kemudian, seorang lelaki berpeci tinggi datang. Menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Abah. Denganku juga.

"Na'im..."

"Hanif"

Perkenalan singkat.

Kuperhatikan setiap perbincangan yang terjadi. Namun masih biasa saja. Hanya memperbincangkan perihal pesantren dan kuliah Ning Haura kemarin di Mesir. Dan itupun Ning Haura diam. Lelaki bernama Na'im juga diam. Tak bersuara kecuali hanya ya dan tidak. Setelahnya Abah berpamitan. Dan kami pulang.

Selama perjalanan, aku malah berpikir kenapa Ning Haura dan Na'im malah diam jika mereka teman lama. Ah, apa mungkin abah sedang mengenalkan Ning Haura dengan calon suaminya kelak?
Duh... Kenapa aku malah berpikir seperti itu. Dan kenapa aku malah jadi tidak enak hati. Apa aku mulai menyukai Ning Haura? Apa aku mulai mencintainya?

"Nif... Apa sampean masih ingat Haura beberapa tahun yang lalu?" Tanya abah memecah keheningan.

"Yang saya ingat, suka minta dituliskan kaligrafi oleh Kang Sa'id..."jawabku.

"Iyo toh? Kok sampean tau?"

"Inggih Yai.. soale Sa'id pasti bikinnya disamping saya..."

"Kan sakkamar Yo?..."

"Inggih Yai .."

Memang kuakui sebelum Ning Haura pergi menimba ilmu di Mesir, Kang Sa'id lebih dekat dengannya. Entah apapun itu. Memperbaiki lampu yang rusak pun, harus Kang Sa'id. Kalo bukan Ning Haura pasti tidak mau.

Akang-akang Berpeci Tinggi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang