Lima

571 21 9
                                    


ﻋِﻨْﺪَﻣَﺎ ﺗَﺼْﻤُﺖُ ﺍﻟْﺄُﻧْﺜَﻰ ﺃَﻣَﺎﻡَ ﻣَﻦْ ﺗُﺤِﺐُّ، ﺗَﺄْﺗِﻲ ﺍﻟْﻜَﻠِﻤَﺎﺕُ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﻴْﺌَﺔِ ﺩُﻣُﻮْﻉٍ
Saat perempuan diam di depan orang yang ia cintai, maka muncullah banyak kata dalam bentuk air mata.

***

Rumahsakit.
Pov Ning Haura

"Haura! Kamu ini anak tidak tau diri!"
Tiba-tiba Abah datang. Memarahiku dengan begitu geramnya.

"Abah.... Maafkan Haura Abah..."

Aku menangis tersedu-sedu. Mengingat perbuatan yang sudah disandiwara oleh Kang Hanif. Aku benar-benar tidak menyangka kepadanya. Bagaimana mungkin Kang Hanif berbuat seperti itu padaku.

"Permisi Pak... Pasien sudah pulih dan sudah bisa dijenguk..." Kata dokter.

Aku menahan Bilqis untuk ikut masuk.

"Bilqis.. kenapa kamu meninggalkan mbak sendirian di rumah makan? Kamu tau? Mbak hampir celaka! Untung gustiallah masih sayang sama mbak. Kamu itu manut saja sama ucapan Kang Hanif!" Kataku. Merutuki Bilqis yang sebegitu polosnya.

"Mbak.. maafkan Bilqis mbak... Tadi Kang Hanif bilang mau mengajak mbak buat membantu memilihkan baju untuk ibunya Kang Hanif. Dan Bilqis disuruh langsung pulang Mbak... Maafkan Bilqis..." Jelas Bilqis. Menunduk. Terlihat rasa bersalah di wajahnya.

"Hah?"

Aku terkejut. Ternyata Kang Hanif sudah membuat rencana ini sebegitu detailnya.

"Haura... "

Umi keluar. Memanggilku. Lembut sekali...

"Haura, Bilqis...masuklah.. dipanggil Abah..." Kata umi.

"Inggih Umi..." Jawabku.

Kulangkahkan kaki menuju kamar dimana Kang Hanif dirawat. Sungguh Allah telah menolongku dari perbuatan dzalimnya. Begitu malangnya, Kang Hanif harus tertabrak sebuah mobil sedan. Semoga Kang Hanif mau mengambil pelajaran dari kejadian ini.

Aku, Bilqis, Umi, dan Abah duduk menunggu Kang Hanif sadar. Kepalanya diperban. Ditangannya terpasang selang infus yang terlihat begitu memilukan.

"Assalamualaikum...."

Kang Sa'id dan Kang Ridwan datang. Mereka memasuki ruangan dengan menunduk. Kemudian bersalaman dengan Abah. Sambil memandangi tubuh Kang Hanif yang tergeletak lemas tak berdaya.

"Kang Hanif... Bangunlah... Ini aku, Sa'id...."

Kang Hanif masih belum sadar. Umi mengelus-elus pundak Abah. Menenangkannya. Sedangkan aku, masih tertunduk lesu. Masih tersedu.

"Kang...." Suara Kang Hanif terdengar lirih.

Semua bangun dari duduknya. Mendekati Kang Hanif.

"Yai... Maafkan saya Yai...." Kata Kang Hanif lemas.

Abah terdiam.

"Yai... Ini semua salah saya Yai... Saya sudah termakan bujuk rayu syetan Yai... Saya sudah menjebak Ning Haura Yai.. maafkan saya... Maafkan saya... Saya sudah khilaf Yai... Maafkan saya..."

Akang-akang Berpeci Tinggi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang