dua

27.1K 1.3K 25
                                    

Satu Atap

"M-mau ... A-apa?" tanyaku mendadak panas dingin. Karena setahuku tak biasanya Mas Ian mengajak ke kamar tiba-tiba seperti ini. Beberapa kali menginap di rumah Mamah pun. Justru Mas Ian lah yang selalu kembali ke kamar paling akhir saat aku sudah terlelap dalam mimpi. Dan kali ini....

Apa iya, Mas Ian memikirkan perihal itu di meja makan tadi. Atau bisa jadi saat ini hatinya mulai tersentuh lalu mau mencoba mengajakku ... Ahh, kenapa tiba-tiba pipiku mendadak menghangat.

Sesaat. Mataku mengerjap saat sentuhan tangannya menggenggam jemariku. Lalu menarikku dengan lembut keluar dapur tanpa mau membalas tanyaku.

Mataku turun mengamati genggaman hangatnya, yang membuat detak di dadaku semakin bertalu tidak tahu diri.

Tak sadarkah kamu, Mas. Setiap sentuhan seperti ini membuat aliran listrik dalam darahku semakin bergejolak, membuat saraf-saraf dalam tubuhku menciptakan sesuatu yang ... aku sendiri tidak bisa menjabarkannya seperti apa.

"Ekhemm!" Suara deheman Mbak Naya terdengar nyaring, membuatku mau tak mau melepaskan genggaman tangan Mas Ian.

"Mon maaf nih, Mbak ganggu yang mau ritual malamnya. Ian, Boleh ya, Mbak pinjem dulu Airin. Bentar aja buat nemenin ngerujak."

Mas Ian terdengar mendesah lalu mengangguk.

"Oke! Jangan lama-lama." ucapnya.

"Iya-iya bentar aja kok. Yuk, Rin, kita ke teras depan." ajak Mbak Naya seraya menarik lenganku, hingga badanku sedikit terhuyung saking semangatnya.

"Kandungannya berapa bulan sekarang, Mbak?" tanyaku, saat kami tengah duduk menikmati angin malam yang menyejukkan.

"Mau sembilan, Rin. Do'ain ya, biar lancar sampai persalinan." ucapnya seraya mencomot irisan mangga muda lalu memakannya dengan begitu lahap.

Aku menelan ludah. Serta merta merasakan ngilu di gigi, saat kali berikutnya beberapa potongan mangga itu lolos ke dalam mulutnya Mbak Naya. Aku melongo bercampur takjub. Serakus dan senikmat itukah rasanya jadi bumil?

Entah kenapa ada yang tersentil di sini. Di dadaku. Tiba-tiba rasa iri hati kini bergelayut kembali. Hati kecilku berteriak ingin merasakan diposisi Mbak Naya. Namun apa daya, faktanya sampai detik ini aku masih perawan. Gimana mau hamil? Prosesnya saja kan belum di uji.

"Di makan, Rin. Enak ini. Cocok tuh buat yang promil kaya kamu, biar rahimnya subur gitu," selorohnya yang membuatku tersentak dari lamunan.

Aku mengernyit. "Masa sih, Mbak?"

Mbak Naya mengangguk lalu menyodorkan semangkuk rujak padaku.

Karena tak enak hati untuk menolak, akhirnya kucicipi meski rasanya nano-nano antar manis, asam dan pedas luar biasa.

"Mbak, Cio sama Cia nggak ikut?" tanyaku saat baru menyadari si anak kembar yang menggemaskan tidak terlihat.

"Nggak Rin, Mbak titipkan ke mertua dulu. Lagian kalo mereka ikut pasti maunya lama di sini. Kamu sendiri tau kan, Mamah lagi kurang sehat. Bisa-bisa jantungnya kumat lagi liat kenakalan cucu-cucunya."

Aku tersenyum, mengangguk paham.

Tak terasa keringat dingin mulai bercucuran. Sesuatu di perutku terasa mulai tak nyaman menandakan alarm bahaya yang mulai mengintai. Aku meringis dalam hati. Kumat sudah, asam lambungku kalau begini.

"Mbak, saya pamit ke kamar dulu. Itu ... Mas Ian--"

Mbak Naya tertawa renyah. Matanya menyipit melihat kebingungan di wajahku. Memangnya kenapa, ada yang salah? tanyaku dalam hati.

"Iya-iya, Mbak ngerti kok. Maaf ya, ganggu yang mau ... ehem-ehem ...." selanya memotong ucapanku.

Kali ini Mbak Naya tampak mengulum senyum yang membuat bola mataku melebar sempurna karena tahu betul, maksud arah ucapannya ke mana.

Aku menggeleng.

"Enggak, kok."

"Yaudah sana. Kasian Mas Iannya pasti gak sabar nungguin di kamar." sela Mbak Naya lalu mengibaskan tangannya di udara, mengisyaratkan agar aku segera pergi.

Dengan senyum masam, aku pun pamit undur diri lalu menaiki anak tangga sambil meremas perutku yang mulai melilit sakit.

Langkahku terhenti tepat di daun pintu kamar. Aku tertegun sejenak tiba-tiba ucapan Mbak Naya juga ajakan dari Mas Ian tadi menari-nari di otakku.

Sontak ... membuat perutku semakin melilit mulas kurang ngajar.

Aku memejamkan mata. Membayangkan malam pertama yang akan terjadi di kamar ini dan menjadi saksi bisu melepasnya status keperawananku yang selama ini aku tunggu-tunggu.

Kuraba dadaku yang terasa berdebar-debar. Sambil memejamkan mata lagi, kukumpulkan keberanian ini meski sejujurnya nyaliku sempat menciut. Takut.

Dengan dorongan basmallah, tanganku bergerak untuk mengetuk pintu.

Namun, suara derit pintu lebih dulu terbuka. Membuatku terlonjak kaget ke belakang.

"Airin!" Mas Ian tampak sama kagetnya denganku.

"Sudah selesai?" tanyanya lagi dan aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Beberapa detik kami terdiam. Sebelum akhirnya Mas Ian memberi jalan agar aku masuk terlebih dulu, lalu disusul dengan suara pintu tertutup. Aku berbalik ke arah pintu saat kulihat Mas Ian mengunci pintu kamar dengan hati-hati.

Selesai mengunci. Mas Ian bergerak melangkah menghampiriku hingga kami berjarak lumayan dekat.

Aku menelan ludah susah payah. Saat manik mata elang itu menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan itu apa.

"Ada yang harus saya bicarakan sama kamu, Airin." ucapnya dengan tatapan yang tak lepas lalu menarikku agar duduk di atas kasur.

Aku mendongak, menatap takut pria yang masih betah berdiri di hadapanku sambil melipat ke dua tangan di dadanya.

"Bicara apa?" tanyaku akhirnya memutus keheningan di antara kami.

Kudengar Mas Ian menghela napas, lalu duduk di sampingku.

"Saya mau selama di rumah Mamah, kamu harus pandai-pandai menjaga sikap. Dan juga akan lebih baik seharusnya diam. Bukan seperti tadi, saya menjawab A kamu menjawab B. Kamu mau, keluarga saya curiga?"

Aku mengernyit bingung dengan jalan pikirnya.

"Salah aku di mana? Harusnya Mas bilang dong sebelum berangkat. Paling gak, harusnya Mas ngasih tahu aku dulu, wacana apa yang harus aku jawab saat keluarga Mas memancing perihal kehamilan yang tak kunjung datang itu." sindirku kesal.

"Ya, kamu cukup diam. Biar saya saja yang beralasan. Seharusnya kamu paham itu," tukasnya sewot lalu merebahkan tubuhnya tanpa peduli dengan perasaanku bagaimana.

"Kenapa, Kenapa Mas seakan begitu benci mendengar itu? Apa Mas gak berniat mau punya anak?" Aku melirik meminta jawaban dengan mata berkaca.

Aku harus tahu. Ya ... aku harus tahu alasan apa yang sebenarnya terjadi.

"Berulang kali sudah saya katakan. Tapi kamu masih ngotot meminta alasan?"

"Aku butuh alasan yang jelas, Mas." ucapku sambil memilin hijab.

Mas Ian yang tengah terpejam. Perlahan matanya mengerjap lalu balik menatapku dengan tatapan tajam. Bisa kulihat, ada kilat marah yang terpancar dari bola matanya.

"Kamu mau tahu? Hemm?"

Mau tahu? Makanya vote en komentar... Mari saya tunggu....😪

KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang