sembilan

26.2K 1.3K 73
                                    

"Ayah ...,"

Aku segera bangkit, lalu memberi jalan pada gadis kecil yang bernama Ara untuk menghampiri Ayahnya.

"Maaf. Tadi putri Bapak nangis," ucapku mencairkan suasana yang sempat terasa canggung.

"Tidak apa-apa. Kamu ... Istrinya Bian, 'kan?" Mas Elrangga menatapku seraya mencondongkan wajahnya.

Aku menunduk lalu menggeleng.

"Mantan Pak." jawabku lugas.

Mas Elrangga terkekeh. "Iya mantan. maaf," ucapnya seraya menarik Ara ke dalam pangkuannya.

"Gak apa-apa." Aku tersenyum tipis.

"Ayah ... mau ec kiiim!" teriak Ara sambil mengerucutkan bibirnya.

Aku tersenyum. Lucu dengan tingkahnya yang begitu menggemaskan.

"Ice cream, di mana? Hemm?" Mas Elrangga mengedarkan pandangan.

Telunjuk Ara terulur keluar. Dengan sigap Mas Elrangga berjalan mengikuti arah gadis kecilnya.

"Saya permisi dulu," pamitnya yang nyaris tak terdengar. Aku hanya bisa mengangguk pelan lalu kembali mengalihkan perhatian pada sekitar ruangan.

Pukul satu siang. Aku dan Eni duduk di kursi di dekat mushola. Seperti biasa, aku membawa bekal sendiri. Nasi putih dan telur dadar yang ditaburi bawang goreng.

Jika beberapa karyawan memilih makan di kantin, namun aku dan Eni lebih memilih untuk menghemat.

"Anti kenal sama Pak El?" Eni bergumam di tengah-tengah makan siang.

Gerakan mengunyahku terhenti. "Pernah ketemu sekali. Waktu itu aku mau minggat, terus Pak El datang. Itu aja. Dan gak sengaja tadi ketemu lagi." ucapku panjang lebar.

"Pak El itu anak yang punya Butik ini. Kebetulan Bu Maria nya lagi ke Solo, jadi keuangan dan lain-lain Pak El yang awasi."

"Beliau itu hot daddy banget, Rin. Anti lihat kan betapa Pak El sayang banget sama anaknya. Jarang loh laki-laki penyayang model Pak El. Mas Adam aja gak seperhatian itu sama anaknya. Cuek banget." Eni berseloroh lagi membandingkan Pak Elrangga dengan suaminya.

Aku diam mengamini uca pan Eni. Kilas bayangan tadi terang saja mencuri perhatianku. Mas Elrangga sama anaknya saja perhatian dan sayang. Apalagi sama Istrinya.

Andai saja jalan takdirku seindah perempuan-perempuan yang beruntung. Mungkin....

Aku menunduk ... menyembunyikan rasa panas di netra ini.

Tidak-tidak!

Lupakan. Airin! Jangan membayangkan yang tak akan kembali dan yang berlalu. Aku membatin menguatkan hati.

"Airin... kamu gak apa-apa?" Eni menepuk bahuku pelan. Aku mendongak seraya menggeleng diiringi senyuman. Namun embun yang memenjarai mata ini akhirnya mengurai.

Bahuku berguncang pelan. Isak tangisku berderai.

"Sakit En ... sakiiit ...," bisikku saat Eni tengah memelukku.

Eni diam. Tangannya mengelus punggungku dan membiarkanku meluruhkan segala bentuk kesedihan.

💔💔💔

"Anti yakin gak apa-apa?" Eni menengadah saat aku baru saja bangkit seraya mengusap kedua pipi yang basah.

Aku menggeleng. "Gak apa-apa. Tadinya aku pikir ... aku bisa tegar dan kuat. Tapi ternyata gak semudah itu, En. Aku cengeng banget, kan?" ucapku seraya menggigit bibir.

Eni tersenyum lalu bangkit. "Perempuan itu memang kodratnya mudah menangis. Perasaannya lembut, mudah tersentuh dan sensitif. Apalagi berkaitan tentang hati. Kalau anti mau nangis, nangis aja. Itu wajar kok. Ana yakin perlahan demi perlahan anti bisa lupain. Ini cuma masalah waktu kok. Semangat ya!"

Aku mengangguk lalu mengacungkan jempol.

Sesaat, kami berdua terkekeh lalu bergegas membersihkan sisa makanan.

"Rin ...," panggilan dari Eni membuatku menoleh.

Aku mengernyit, "Apa?" ucapku pelan disela-sela kesibukan memilah gamis untuk dirapikan.

Tangan Eni melambai dari kejauhan, mengisyaratkan agar aku menghampirinya.

"Ada apa?" tanyaku saat sudah berada di depan meja kerjanya.

Kulihat Eni menyodorkan satu gelas jus strawberry ke arahku.

"Buat aku?" Aku menunjuk diri sendiri. Eni tertawa lalu mengangguk. "Iya. Ayo minum, mumpung belum ada pengunjung."

"Tumben," gumamku lalu mengambil dan meneguknya.

"Bukan dari ana sih,"

"Terus dari siapa?"

Eni tersenyum lalu mengerlingkan matanya ke arah sebelah kanan. "Dari Pak Elrangga." bisiknya pelan.

Aku melirik ragu ke arah pandang Eni.

Kulihat Mas Elrangga tengah duduk di tepi meja kerjanya sambil menunduk. Sementara tangannya sibuk memainkan ponsel.

"Kayaknya Pak El naksir anti deh Rin," Eni menyenggol lenganku sambil mengulum senyum.

Aku melotot ke arah Eni. "Hust! Sembarangan! Pak El udah punya Istri sama Anak." peringatku hati-hati.

"Kat--"

"Airin ...," Suara dari belakang seketika membuatku dan Eni menoleh bersamaan.

"Mbak Naya," ucapku menatap tak percaya.

Mbak Naya tersenyum. Lalu menghampiriku, sebelum akhirnya memelukku ... erat.

"Maafin Ian ya, Rin. Mbak syok, Mamah syok juga. Mbak gak nyangka, Ian bisa nyembunyiin pernikahannya selama itu," Mbak Naya memulai berbicara saat kami tengah duduk di luar.

Aku menelan ludah. Memutar bola mataku ke atas berulang-ulang, agar embun ini tak segera luruh.

"Gak apa-apa Mbak. Mungkin ... ini yang terbaik. Dan maaf juga Mbak, aku gak bisa mertahanin pernikahan ini,"

Mbak Naya mengusap punggung tanganku. "Kamu sudah tepat. Sangat tepat." bisiknya pelan.

"Mbak ke sini cuma mau ngasih tahu, kalau Mamah sakit. Dua hari lalu masuk ICU. Dan sekarang sudah pulang ke rumah. Mamah nangisin kamu terus Airin,"

"Sekarang bagaimana? Maafin aku Mbak. pasti Mamah sakit gara-gar--"

Mbak Naya memotong ucapanku. "Kamu gak bersalah. Cepat atau lambatpun Mamah pasti akan tahu. Rin ... Mamah pengen ketemu kamu. Bisa kan?"

Aku diam. Jujur ... rasanya belum siap, kalau harus bersitatap lagi dengan Mas Ian.

"Gimana? Mamah udah gak bisa apa-apa. Udah gak mau makan juga. Mamah pengen ketemu kamu, Mungkin ... untuk terakhir kalinya." Mbak Naya memohon dengan mata berkaca.

Kalau seperti ini keadaannya. Aku tak akan bisa untuk menolak.

"Aku mau Mbak. Tapi ... jangan ada Mas Ian di sana. Mbak ngerti kan?"

"Mbak ngerti. Ian lagi keluar, makanya Mbak ngajak kamu ke rumah sekarang."

💔💔💔

Sepulang dari butik. Kini aku sudah berada di ambang pintu. Gerak langkahku terasa berat dan lamban saat memasuki rumah yang dua tahun lamanya selalu kukunjungi. Terlalu banyak kenangan yang kusimpan di sini.

Aku menghela napas beberapa kali. Menetralkan gemuruh hati yang saling beradu menyisakan sesak di dada.

Mataku bergerak hati-hati mencari sosok Mbak Naya yang telah hilang sedari tadi. Namun suara pintu berderit membuat arah mataku tertuju pada kamar sebelah kiri.

Sosok yang ingin kuhindari itu ... ada.

Mas Ian keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya. Rambutnya nampak basah berantakan.

Sesaat mata kami bertemu. Ada binar keterkejutan dari gerak dan raut wajahnya.

Tatapanku beralih lagi ke samping Mas Ian.

Perempuan berwajah elok dengan rambut tergerai basah, yang kuyakini itu ... Istri sirinya.

Selengkapnya bisa kalian baca di KBM APP dengan judul yang sama. Di sana sudah season dua. Thx

KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang