Enam

24.2K 1.3K 114
                                    

#Satu_Atap
Part enam.

Sepulang dari rumah Eni, suasana rumah tampak sepi. Kulirik jam menunjukkan pukul lima sore.

Sengaja. Aku pulang sore hari agar tak bertegur sapa dengan Mas Ian. Entahlah, sejak kejadian pagi tadi sampai detik ini rasanya malas untuk sekedar bersitatap.

Bukan. Bukan aku lari dari masalah. Hanya saja di saat situasi panas seperti ini, cara terbaik untuk bisa meredam hawa panas yang terjadi adalah menghindar. Dan memberi jeda untuk menenangkan hati.

Selesai berganti pakaian. Aku merebahkan diri di atas kasur sambil menatap atap langit seraya pikiran ini terus menerawang. Sesi curhatku dengan Eni berjam-jam lamanya, pada akhirnya mendapati titik terang.

Rasa lega kini menguar. Beruntung Eni tipikal menjadi orang penengah. Banyak sekali hal-hal baru dan saran yang mungkin akan kucoba ke depannya.

Eni bilang benar. Saat mencintai seseorang kita akan seperti orang bodoh. Dan kebodohan itu akan menjadi peluang besar untuk dimanfaatkan.

Cinta boleh, tapi jangan berlebihan.

Seperti aku halnya. Menjatuhkan harapan pada manusia, yang akhirnya berujung luka dan kecewa.

Dan ini menjadi pelajaran penting bagi hidupku ke depannya, untuk lebih bisa menguasai diri apalagi tentang perasaan.

Selepas adzan magrib. Suara deru mobil terdengar dari luar. Itu pasti Mas Ian. Cepat-cepat aku melipat mukena lalu bergegas menyimpannya di atas ranjang.

Kurapikan hijab pasmina instan, lalu duduk ditepi kasur membelakangi pintu. Berhubung karena kami satu kamar tadinya, mau tidak mau harus mengalah untuk berbagi tempat.

Kumainkan ponsel sambil menunduk.

Tak lama, suara derit pintu kamar terbuka membuatku menegang.

Aku memejamkan mata. Merapalkan hati agar tetap tenang. Melatih emosi agar stabil dan fokus pada tujuan utama.

Sesaat. Mas Ian berdeham sebelum akhirnya terdengar suara pintu kamar mandi tertutup.

Diam-diam aku keluar menuju dapur. Duduk termenung seraya meneguk teh hangat yang baru saja kubuat dua menit yang lalu.

"Airin... kita harus bicara dari hati ke hati. Saya tunggu di ruang tamu." Suara Mas Ian yang lantang terang saja membuatku hampir tersedak.

"Kalau kamu tidak keberatan, buatkan saya teh manis juga." ucapnya lagi yang membuatku mengepalkan tangan. Kesal sendiri.

Selesai membuat teh. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju ruang tamu. Kuletakkan satu cangkir pesanannya yang mengepul, tepat di hadapannya tanpa sepatah kata.

Kulihat Mas Ian menyimpan ponselnya, lalu membuka kantung plastik hitam yang berisi martabak keju manis kesukaanku dan satu kantong sate ayam.

"Mau ke mana? Duduk sini. Saya tahu kamu belum makan, kan?" ucapnya saat menyadari kepergianku. Aku hanya bisa mematung tanpa bereaksi, sedangkan Mas Ian sibuk mengambil dua piring dan sendok.

"Duduk, Airin. Kamu gak pegal sedari tadi berdiri?"

Sesaat Mas Ian menghela napas, karena mulai kesal perintahnya sama sekali tak di dengar.

"Airin... please! Duduklah. Ada hal yang harus saya katakan sama kamu, sebentar saja," Kali ini Mas Ian tampak mengiba di tengah keprustasian.

Dengan keterpaksaan yang menjulang tinggi, kuturuti permintaannya untuk kali ini saja.

"Makan dulu, ya?" pintanya yang membuatku mendelik tajam.

"Gak usah basa-basi!" ketusku lalu mengalihkan pandangan.

"Ini tentang pernikahan kita, Airin. Saya sadar diri atas apa yang telah saya lakukan. Kamu berhak bahagia tanpa terikat dengan saya. Namun dengan hati yang terdalam, saya minta tolong kesabaran kamu memberi saya waktu. Paling tidak satu bulan untuk menjelaskan semuanya sama Mamah secara pelan-pelan. Kamu sendiri tahu kan, riwayat penyakit jantung Mamah?"

"Saya tahu ... kamu perempuan baik, Airin. Saya janji apa pun yang kamu mau, akan saya turuti dan lakukan."

Aku diam. Dan lagi, bayangan obrolan Eni tadi pagi kini mengudara.

"Oke... Kalau kamu gak mau jawab sekarang, saya tunggu besok." Tangan Mas Ian bergerak mengambil teh di atas meja.

"Aku pikir-pikir dulu." putusku akhirnya setelah cukup lama berperang dengan isi hati.

"Makasih, Airin. Makasih!"
Senyum itu terukir. Ada binar kebahagiaan yang terpancar dari bola matanya.

"Aku ngantuk. Mau tidur!" tukasku lalu melenggang pergi.

Tepat saat kaki hendak melangkah menuju kamar, kudengar Mas Ian terbatuk-batuk.

Ia bangkit berjalan ke arahku sambil memegang cangkir.

"Ini teh, rasanya kok asin, ya?" Mas Ian bergumam dengan mata menyipit heran.

"Perasaan kamu aja kali, Mas. Owh iya. Mulai malam ini dan seterusnya kamu tidur di luar ya, Assalamu'alaikum." jawabku santai lalu masuk menutup pintu dan tak lupa menguncinya.

Tok... tok... tok..

Suara ketukan pintu berulang terus terdengar dari luar. Aku yang semalaman susah tidur karena sakit kepala, harus bangkit susah payah membuka pintu.

"Lama banget sih buka pintunya. saya bisa kesiangan nih!" Sulut Mas Ian tiba-tiba lalu masuk menuju kamar mandi.

Aku menghela napas, lalu merapikan tempat tidur yang berantakan.

"Airin ... tolong siapkan baju kantor saya!" Mas Ian berteriak dari dalam saat aku tengah mencari minyak angin di dalam laci.

Aku memijat kepala yang terasa berdenyut, lalu mengambil beberapa helai baju untuk keperluan Mas Ian. Selesai itu, aku beranjak keluar membuat nasi goreng.

"Mas, gak sarapan?" tanyaku saat Mas Ian keluar dari kamar setengah berlari menuju garasi.

"Ada meeting hari ini, saya makan di kantor saja. Assalamu'alaikum."

Suara deru mesin mobil terdengar. Perlahan ... aku bangkit berjalan menuju teras. Kulihat mobil Mas Ian sudah melaju, lalu mengecil dari pandangan.

Seutas senyum terbit di bibirku. Membayangkan Mas Ian berteriak kepanasan, saat cd nya kuolesi fresh care.

Ini hanya permulaan, Mas.

Dua tahun lamanya aku bersabar atas nama cinta, namun tidak untuk sekarang. Satu bulan rasanya cukup untuk menyadarkan bahwa pandanganmu terhadapku, salah besar.

Kamu yang memulai, biar aku yang mengakhiri.

Vote nya jan pelit guys....

KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang