#Satu_Atap
Part tujuh"Hahaha... ya Allah, Airiiiin! Sumpah ana gak nyangka anti bisa seusil itu..." Derai tawa Eni terdengar di ujung telepon. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi.
"Sebenarnya gak kepikiran sampai ke sana. Cuma emang lagi nyari fresh care buat olesin kening tadinya. Kamu tahu lah aku sakit kepala gara-gara nangis semalaman. Nah berhubung tingkah dia seenak sendiri. Yaudah aku olesin aja dikit, biar tahu rasa."
"Hahaha... emang mesti dikasih pelajaran, siapa tau sadar. Owh iya, Mas Ian telepon kamu?" Eni bertanya lagi saat tawanya mulai mereda.
"Telepon, beberapa kali. Tapi aku gak angkat, En. Males!" jawabku lalu menatap jam sudah pukul 9 malam.
"Wkwk. Yaudah terserahmu ajalah! Owh iya, besok kan Minggu. Nah, terkait tawaran ana yang kemarin. Anti Senin bisa langsung kerja. Soalnya butik emang lagi rame, jadi butuh karyawan lagi. Jadi gimana? Udah bilang ke Mas Ian?"
"Belum. Nanti aku kabarin besok, paling lambat siang ya,"
"Oke-oke. Ana tunggu."
"Yaudah kalau gitu. Makasih ya, udah mau dengerin curhat yang kesekian kalinya."
Lagi, kudengar Eni tertawa. "Gak apa-apa. Santai lah sama ana mah. Kalau ada apa-apa cerita aja sama ana, oke? Assalamu'alaikum,"
"Iya. Wa'alaikum salam." ucapku memutus panggilan lalu menyimpan benda pipih itu di atas nakas.
Beberapa kali aku menguap tanda rasa kantuk yang mulai menjalar. Kutarik selimut di sampingku, lalu perlahan mulai berlayar dalam impian.
💔💔💔
Aku terbangun karena pendar matahari membias lewat celah gorden di ujung kamar. Mataku menyipit menatap seksama jam di atas nakas.
Pukul 8 pagi.
Sesaat. Kakiku bergerak menjuntai lantai lalu segera masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pembalut.
Saat aku tengah berganti pakaian, ketukan dari luar membuatku terperanjat. Buru-buru aku membuka pintu dan mendapati Mas Ian sudah rapi namun dengan baju yang berbeda.
Sepertinya Mas Ian malam tadi gak pulang ke sini. Biasanya selelap apa pun tertidur, aku selalu tahu kedatangannya.
Ah iya, aku lupa! Kalau ada Runa dan Istri tercintanya yang menjadi prioritas utamanya.
"Ada apa?" tanyaku seakan terganggu dengan kehadirannya.
Mas Ian tersenyum sesaat, "Telepon saya kenapa gak di angkat-angkat?"
Aku memutar bola mata. "Males!"
Kudengar Mas Ian menghela napas. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu."
"Apa?" ucapku lantang.
"Duduk yuk! Saya beli bubur ayam kesukaan kamu, mumpung selagi anget." Mas Ian mencoba menarik lenganku, namun segera kutepis kasar.
"Jangan coba-coba berani nyentuh aku ya, Mas. Haram!" ketusku kesal.
Mas Ian terkekeh. "Maaf. Yaudah, kita sarapan dulu."
"Semalam saya gak pulang ke sini karena Runa sakit," Mas Ian bergumam di tengah-tengah sarapan.
Terus hubungannya sama aku apa?
Kuteguk teh manis hangat, lalu bangkit membawa kotak berisi bubur yang lumayan tersisa banyak. Entah kenapa, nafsu makanku semakin tak berselera saat Mas Ian menyebut nama itu.
Sekembalinya dari dapur, Mas Ian menghadangku di depan kamar.
"Minggir Mas, aku mau masuk." Seruku tanpa mau menatapnya.
"Airin... saya mau tanya sama kamu. Benar kan, kamu sengaja ngolesin fresh care ke cd saya?"
"Kamu gak tahu gimana saya mati-matian nahan panas saat nyetir, saat meeting sama atasan dan klien. Di ajari siapa kamu bisa seberani ini, heh?"
"Kenyataan yang mengajarkannya Mas! bahwa gak selamanya aku terus-terusan dibohongi dan dibodohi dua tahun lamanya. Harusnya kamu mikir, gak sepantasnya kamu suruh aku melayani perintah kamu lagi. Itu gak seberapa dibanding apa yang udah kamu lakukan sama aku selama ini. Meski kamu belum menalaqku secara lisan, tapi kamu sudah mendzolimi aku secara batin. Ini udah gak bener. Sekarang aku bakalan menggugat dan mengadukan ini ke pengadilan!"
Mas Ian diam tak bersuara. Sebelum akhirnya ia bergeser memberi jalan masuk, saat beberapa kali aku meminta pria berkaos hitam itu menyingkir.
Dengan debaran yang bertalu, kuusap bulir bening yang baru saja lolos dari netraku.
Kututup rapat pintu kamar, lalu duduk menatap jendela seraya meremat kedua jemari.
Andai Alm. Ibu masih ada, mungkin sudah kuuraikan segala kesedihan ini.
Andai aku menolak perjodohan ini, mungkin tak ada luka yang menyapa, di sini.
Andai aku bisa memutar masa lalu dan memperbaiki keadaan, mungkin ... semuanya tak akan seperti ini.
Harusnya aku tak perlu di sini. Akan lebih baik segera pergi. Aku harus mandiri. Tak bisa bergantung pada bukan milikku lagi.
Iya ... aku harus mengambil keputusan.
Kuambil tas lalu memasukkan baju di dalam lemari. Jalan satu-satunya sekarang aku harus kembali ke kontrakan Alm. Ibu dulu. Ada sisa satu setengah bulan lagi yang bisa kutempati dan itu akan lebih baik.
Setelah semuanya selesai. Aku membuka pintu dan mendapati Mas Ian tengah duduk di teras rumah.
"Mau ke mana kamu?" Mas Ian bangkit menatap tajam.
"Pergi." ucapku sambil berlalu.
"Ke mana?" Kini Mas Ian menahan tasku.
Aku mendelik. "Bukan urusan kamu, Mas!"
"Urusan saya juga lah. Kamu ini masih istri sah saya, Airin. Gak perlu kamu pergi-pergi kayak gini. Buat perempuan kaya kamu, bahaya kelayapan di Jakarta. Ngerti kamu,"
"Gak usah so peduli sama aku, Mas! Justru itu, aku harus segera selesaikan urusan kita. Aku capek!"
Mas Ian menggeleng. "Saya gak akan biarin kamu pergi. Biar saya saja yang pergi dari sini. Saya juga gak mau Mamah tahu kamu gak ada di sini."
"Gak bisa! Dan aku gak peduli!"
Mas Ian semakin menarik tasku ke dalam genggamannya.
"Cuma satu bulan. Biar saya yang pergi, Kamu di sini. Saya gak akan macem-macem atau pun nyuruh kamu lagi. Please?"
"Selamat pagi!" Suara bariton seseorang dari belakang membuat kami menoleh secara bersamaan.
"P-pak Elrangga?" ucap Mas Ian sedikit terperanjat dengan kedatangan pria berkemeja biru langit.
Aku menilik kilas pria beralis tebal bernama Elrangga yang kutaksir teman kerja Mas Ian.
"Saya cari-cari alamat rumah kamu, Bian. Dan beruntung dipertemukan di sini,"
Mas Ian tersenyum. Ada binar kecanggungan yang kulihat dari gelagat Mas Ian.
"Saya cuma mau ngasih ini, kemarin lupa." Mas Elrangga menyerahkan satu paper bag berukuran besar bercorak Hello Kitty.
"I-iya... Terima kasih Pak." Mas Ian menerima dengan seulas senyum.
Suasana sempat hening, sebelum akhirnya tatapan Mas Elrangga beralih padaku, lalu menatap tajam pada Mas Ian.
"Siapa dia?"
Sontak, wajah Mas Ian memucat. Sesaat Mas Ian menatap sendu ke arahku ... lama.
"D-dia ...,"
"Siapa Bian?" Lagi, Mas Elrangga bertanya setengah menuntut.
Mas Ian memutus tatapan padaku lalu berdeham,
"Adik saya."
Pen ngakak baca komenan kalian. Sebegitu ikut terbuaynya dengan alur ini. Hoho
Sebenarnya cerita ini udah ada yang meminang dari penerbit, cuma aku masih mikir-mikir dulu untuk beberapa waktu ke depan.
Cus vomentnya yang banyak, biar saya up besok. Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
KALI KEDUA
RomanceMeniti dua tahun menikah, Arbian tak pernah menyentuh istrinya. Hingga satu rahasia besar pada akhirnya terkuak, yang membuat Airin ingin mengakhiri pernikahannya. Highrank# 1 Air Mata 31 Okt 2020 2 jatuh cinta 2020