delapan

24.6K 1.4K 80
                                    

Sudah bisa kutebak. Kali ini aku tersenyum mendengar pengakuan dari Mas Ian.

"Adik itu panggilan Sayang dari Mas Ian," Aku berucap seraya menatap kedua laki-laki di depanku. Sesaat tatapanku terkunci pada sepasang mata Mas Ian yang tampak menegang.

"Tapi bohong," ucapku lagi dengan tatapan tajam lalu menarik paksa tas yang ada digenggamannya hingga terlepas.

"Owh iya, Mas. Perihal Mamah ... semalam sudah kubeberkan semuanya tentang pernikahan kita yang sebenarnya. Juga tentang pernikahan siri kamu. Dan sekarang ... aku bakalan ajukan gugatan penceraian kita ke pengadilan." Sambungku lagi dengan tenang lalu pergi meninggalkan wajah Mas Ian yang mendadak merah padam.

Terkadang, saat kesabaran dan pengabdian tak bisa dihargai lagi, kita hanya perlu memberi sedikit pelajaran tanpa perlu memaki atau pun menampar wajahnya dengan ledakkan yang berapi-api.

Rasa kepuasan itu sesaat karena dorongan hawa nafsu yang meluap. Jika kita terus menggali pikiran dari sudut pandang yang bisa diterima dengan berbagai pengalaman yang terjadi di sekitar,

Cara itu justru yang akan membuat kita semakin menampakkan kelemahan. Meski ada beberapa yang memilih untuk melakukan itu, namun aku lebih memilih jalan yang lain, yaitu pergi dan memaafkan.

Hukummullah itu ada. Benar-benar ada. Biarkanlah sentilan dari Tuhan yang menyadarkan atas segala salah dan kekhilafannya.

Dan sekarang. Saatnya aku bangkit lalu menata kembali kehidupan baruku di mulai dari saat ini.

Dua tahun lamanya bertahan dalam kesabaran. Bukan! ... bukan berarti bodoh. Aku hanya memberi dia jeda dan kesempatan untuk berubah. Jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi, aku memutuskan untuk pergi. Dan membiarkan dia bahagia dengan pilihannya.

Derap langkahku terhenti tepat di depan rumah yang dua setengah tahun lalu kutempati dengan Alm. Ibu. Perlahan kubuka pintu itu lalu mulai berjalan seraya mengedarkan pandangan ke segala penjuru.

Sesaat tatapanku terhenti. Bibirku membentuk senyum menelisik satu lembar foto yang tergeletak di sudut ruangan, menampakkan tiga orang yang tengah melebarkan senyum ke depan kamera.

Gadis kecil yang berkuncir dua itu adalah aku di masa kecil. Sedangkan dua paruh baya sepasang suami-istri yang tengah memelukku adalah kedua orang tuaku yang begitu harmonis kala itu. Sebelum akhirnya penceraian menjadi kabar paling menyakitkan dalam hidup.

Ingatanku yang perlahan mulai hilang, kini seakan terenggut kembali pada beberapa belas tahun yang lalu.

Teriakan dan jeritan Ibu di setiap malamnya adalah nyanyian termanis yang membuatku terisak di balik pintu sambil mencoba menutup telinga.

Saat itu aku belum mengerti dan tahu apa-apa di balik suara pecahan kaca yang nyaring dan membuatku menggigil karena ketakutan.

Hingga suatu hari Ayah pergi tanpa kembali. Sedangkan aku dan Ibu meratap kepergiannya dengan tangis yang tak mereda.

Jauh di balik derai air mata. Aku hanya gadis kecil yang mendamba tawa. Merindu kehangatan di tengah-tengah kasih sayang keluarga, yang nyaris tak akan bisa lagi kurasa.

Dari situ ... aku mulai mengeja tentang amarah, mengeja tentang rasa sabar. Dan mengambil sejengkal demi jengkal hikmah di balik yang terjadi saat itu dan ... sekarang.

Sudah satu minggu. Aku bekerja di salah satu butik terkenal yang digandrungi pelanggan yang tak pernah sepi setiap harinya. Sebagai karyawan baru yang minim pengetahuan dan pengalaman, aku di pekerjakan dibagian penyambutan dan mengawasi berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di dalam.

Setiap pagi pukul delapan. Aku sudah terlatih untuk sigap di depan pintu menyambut pelanggan pertama yang sebentar lagi masuk.

"Assalamu'alaikum... selamat pagi Ibu. Silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku penuh kelembutan diiringi senyum termanis.

Si Ibu yang berpakaian syar'i berwarna toska berjalan masuk tanpa mengindahkan tanyaku.

Aku tersenyum. Sudah biasa! Hal seperti ini jangan di anggap sakit hati.

"Semangat!" Tepukan kecil dari Eni membuatku tersenyum lalu mengacungkan jempol ke udara. Mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja.

Eni benar-benar sahabat yang tulus dari kecil hingga sekarang. Dia andil terbesar, mengapa aku bisa kembali memulai dan bangkit dari segala keterpurukan.

Kulihat Eni terkikik geli lalu kembali pada meja kerjanya.

Sesaat. Tatapanku kembali pada seseorang di balik pintu kaca. Mataku memicing menatap seksama pria berkemeja putih dengan garis-garis hitam yang tak asing.

Pintu terbuka. Seulas senyum tipis darinya membuat kesadaranku kembali terjaga.

"Assalamu'alaikum... selamat pagi Pak. Silahkan masuk. Ada yang bisa di bantu?" selorohku tanpa mengurangi rasa hormat.

"Pagi." ucapnya lalu berlalu meninggalkan keterpakuan.

Sesaat mataku melebar, Itu kan teman kerjanya Mas Ian. Iya, Mas Elrangga.

"Ayah El...!" Suara nyaring anak perempuan membuat mataku bergerak turun lalu menyapa gadis kecil yang kutaksir berusia 3 tahun.

"Adek cari siapa, Sayang," ucapku semanis mungkin mencoba mensejajarkan dengan tingginya.

"Ayah El... mau Ayah El!!" Teriaknya yang membuat telingaku meringis kesakitan.

"Adeknya jangan nangis ya, nanti kita cari Ayah El." ucapku lalu mengusap bulir bening dari sudut matanya yang bulat. Sesaat senyum di bibirku memudar tatkala menatap seksama wajah itu yang mengingatkanku pada seseorang di masa lalu.

Rambut ikal hitam yang lebat, bola mata yang tajam, hidung kecil nan bangir dan bibir penuh itu begitu dan sangat percis seperti ... Mas Ian.

"Ara... Kenapa nangis? Hemm?" Suara bariton dari belakang membuat lamunanku terusik.

Jangan pelit voment ya guys! Biar semangat up

KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang