Sepuluh

28.1K 1.5K 290
                                    

Raut kegelisahan dan ketakutan itu kini berbaur. Mata indahnya bergerak menatap lekat ke arah Mas Ian.

Aku terpana bercampur lara, saat satu tangan perempuan dengan abaya hitam bercorak bunga itu digenggam oleh Mas Ian. Dua tangan mereka kini saling bertautan. Seolah mengisyaratkan jika ada cinta besar yang ingin mereka tunjukkan. Ada gejolak keterikatan yang telah terjalin begitu dalam untuk dibuktikan.

Aku mengerjap lalu berpaling. Sadar, tak seharusnya berada lama di sini yang akan membuat luka ini semakin menanah.

Untuk meredakan rasa sesak yang mendadak terasa pengap, aku memilih bergerak mundur, lalu melangkah pergi. Pergi secepatnya sebelum air mata ini turun menganak sungai.

💔💔💔

Tiga langkah menuju pintu. Kuusap pelan bulir bening yang menjadi saksi betapa sakitnya beradu pandang secara langsung. Betapa kejamnya sebuah dusta yang kini berujung nestapa.

Memang. Tak sepatutnya aku menjejakkan kaki di sini, namun faktanya jauh di relung hati, nurani dan egoku terkadang malah tak seirama.

"Airin...," Entah dari mana. Mbak Naya mencekal tanganku saat langkah kaki ini sudah di ambang pintu.

"Jangan pergi dulu, Rin! Mbak mohon temuin Mamah ... sebentar," Mbak Naya meraih kedua tanganku, lalu mencoba bersimpuh.

"Maafin Mbak, Rin! Mbak gak tahu kalau Ian dan Kafa sudah pulang, Mbak gak bernia--"

"Gak apa-apa, Mbak. Aku gak apa-apa," ucapku lalu berjongkok mensejajarkan.

Pelaan ... aku menarik genggaman eratnya, lalu segera meraih bahu Mbak Naya agar segera bangkit.

"Mbak mohon ... temuin Mamah ya?" Kali kedua Mbak Naya terus menghiba.

Aku menunduk. Diam tak bersua untuk beberapa saat sebelum akhirnya memilih menggelengkan kepala.

"Maafin aku, Mbak. bukannya gak mau ketemu Mamah. untuk saat ini ... maaf, aku gak bisa! Dan aku harap, Mbak ngerti dengan keadaan yang ada." ucapku pelan lalu pergi tanpa mengindahkan wajahnya yang penuh harap berganti rasa kecewa.

💔💔💔

Aku duduk sejenak di bangku warung Bi Agam yang sudah tutup seraya meremat kedua jemari yang bertautan. Menatap resah nan gelisah ke setiap arah. Menunggu angkutan umum yang tak kunjung datang.

Bayang kilas pertemuan tadi membuat kewarasanku seperti terenggut kembali. Aku memejamkan mata. Mengenyahkan rasa sakit yang menjalar dari ulu hati.

Lupakan. Lupakan! Aku bergumam sendiri di tengah bisingnya malam.

"Airin....,"

Suara sedu sedan perempuan dari samping membuatku menoleh dan hampir beranjak menjauh, namun satu tangannya telah berhasil menggenggamku.

"Saya ingin berbicara dari hati ke hati, berkenan kah?" ucapnya seraya menarik lembut tangan ini agar segera duduk di sampingnya.

Kini ... kami diam. Menyelami perasaan masing-masing di tengah rasa panas yang bergejolak.

Sesaat. Untuk pertama kalinya aku menatap saksama wajahnya dari dekat.

Pantas! Mas Ian bertekuk lutut dan memilih memperjuangkannya, karena binar itu begitu menampakkan ketenangan dan keanggunan.

Sedangkan aku disandingkan dengannya. Seakan jauh bak langit dan bumi.

"Pertemuan di waktu yang tidak tepat," lirihnya membuyarkan keterpakuanku lalu kini berganti menatap lekat.

"Airin... saya tidak tahu harus menjelaskan dari mana, dan sebenarnya pasti kamu enggan mendengar kenyataannya. Namun dengan segenap hati dan kerelaannya, mau kan, kamu dengar secuil kisah saya dan Mas Ian untuk sebentar saja?"

Diam tak bereaksi adalah pilihanku saat hati ingin rasanya pergi di tengah keingintahuan.

"Kafaya..," perempuan di sampingku memperkenalkan nama, seraya menjulurkan tangannya ke arahku.

Aku menoleh seketika. Lalu menyambut tangannya dalam keraguan.

"Sudah lama saya ingin bertemu sama kamu, sayangnya Mas Ian tak pernah mengizinkan juga karena memang terhimpit keadaan. Dan sekarang ... semuanya sudah terlanjur tahu, jadi saya akan menceritakan yang terjadi dan kebenarannya. Sa-sa--"

Kulihat Mbak Kafa menunduk. Seperti ada ganjalan berat yang tercekat di tenggorokan. Sehingga untuk menceritakan saja ia tergugu.

Aku diam, hanya bisa diam seraya mengamati setiap gerak tubuhnya yang mendadak kaku.

"S-saya dan Mas Ian adalah sepupu juga sahabat dekat sejak kecil. Saya di asuh oleh Tante Adin-Mamahnya-Mas Ian karena keluarga saya meninggal akibat tsunami di Aceh, menyisakan saya seorang diri. Hingga belas tahun berlalu, akhirnya saya masuk salah satu universitas ternama di Bandung. Tiga tahun saya tinggal di sana, hubungan saya dan Mas Ian cukup baik. Hingga suatu waktu, saya masuk ke lembah hitam akibat pergaulan bebas. D-dan ... sa-saya hamil!"

Kulihat air mata di ujung sudut matanya mengalir deras. Beberapa kali ia mengusap di kedua pipi secara bergantian.

"Mas Ian lah yang bertanggung jawab. Bersedia menikahi saya. Meskipun ... bukan dia pelaku yang sebenarnya."

Tatapannya kini berpangku pada atas langit. Senyum di bibirnya terukir. Nanar.

"Kami sepakat mencoba mengeja rasa satu sama lain dimulai sejak ijab qobul. Karena jujur, kami belum tahu tentang rasa yang sebenarnya. Saya tahu Mas Ian hanya sekadar peduli. Lebihnya tepatnya karena kasihan melihat keadaan saya yang hampir gila. Tanpa sepengetahuan keluarga. Terutama Mamah dan Kak Naya kami menikah siri di masjid terdekat,"

Kudengar Mbak Kafa menghela napas.

"Dan sekarang, semuanya sudah terbongkar. Saya dan Mas Ian datang menemui Mamah Minggu kemarin. Mengaku dan meminta restu. Namun bukan bahagia yang kita dapat justru memberi lara. Kami tahu konsekuensi yang akan kami terima. Dan terbukti Mamah langsung drop masuk ICU."

Aku masih diam. Mencerna segala pengakuannya yang cukup mengejutkan.

"Saya minta maaf. Tak seharusnya saya menjadi penengah di antara kalian. Saya tahu Mas Ian mencintai kamu, Airin."

"Sebenarnya hubungan saya dan Mas Ian benar-benar tak ada kemajuan. Beberapa kali saya ingin berpisah namun Mas Ian tetap bergeming. Membuat saya sakit sendiri. Dan memang saya ingin mandiri tanpa perlu menjadi duri dan benalu di antara kalian, juga Mamah. Jadi...."

"Mau kan, kamu kembali untuk memulai lagi dan memperbaiki hubungan dengan Mas Ian?" pintanya lagi dengan air mata yang sudah berlinang.

Aku menelan ludah. Dilema dengan setiap rentetan yang membuatku terpaku kebingungan.

"Terima kasih untuk waktunya, Airin. Saya harap suatu kesempatan bisa mempertemukan kita lagi. Di waktu dan tempat yang paling tepat." sambungnya lagi, lalu menggenggam tanganku... erat.

"Biar saya yang pergi. Memang itu yang mesti saya sadari dan sudahi. Saya mohon ... tolong dipikirkan lagi. Sebelum akhirnya kamu terlambat menyadari, bahwa kebahagiaanmu sebenarnya ada di sini."

SELENGKAPNYA BISA KALIAN BACA DI KBM APP DENGAN JUDUL YANG SAMA.  DI SANA UDAH TAMAT YA.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang