Aku mengangguk. Meski ada rasa takut, namun aku harus tahu apa pun itu alasannya. Agar tak selalu menerka-nerka dengan segala pikiran negatif yang selama ini merajai isi kepalaku.
Kulihat Mas Ian tampak bimbang. Sesekali ia menghela napas lalu menatap sendu ke arahku. "Airin ...." Mas Ian berucap pelan namun ada getaran saat ia memanggil namaku. Kutatap lamat mata elang itu. Ada sorot sedih yang tergambar di sana.
"Setelah saya katakan kebenarannya, apa kamu tidak akan kecewa atau marah?"
Aku tersenyum tipis. "Akan lebih baik kita saling terbuka, Mas. Apa pun itu, ingsyaa Allah aku akan berusaha untuk menerima keadaan." ucapku tulus. Meksi ada kata sisi lain yang berbanding terbalik dengan ucapanku barusan, namun sebagai istri aku harus lebih bisa menerima segala kekurangan dan memahami partner hidupku.
"Bukan saya tidak mau mempunyai anak. Tapi untuk sekarang ... sepertinya keinginan kamu harus ditunda. Saya ... saya tahu kamu ingin punya anak. Tapi ....,"
Aku mengernyit. "Tapi apa?"
"Saya sendiri belum menyentuh kamu, kan?" Mas Ian balik bertanya padaku yang hanya bisa kuanggukan dengan pelan.
"Kamu mau menunggu lebih lama lagi? Demi saya?" tanyanya yang membuatku terkejut.
"Kenapa?" tanyaku penuh intimidasi ingin tahu.
Sesaat. Mas Ian meraih tanganku ke dalam pangkuannya. "Yakin kamu mau mendengar alasan yang sebenarnya?"
Aku mengangguk tak sabar.
"Sebenarnya ... saya ....,"
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu membuyarkan ketegangan yang tercipta diantara kami. Aku tersenyum, mencoba menetralisir keadaan.
"Sebentar Mas," bisikku pelan lalu melepas genggamannya saat ketukan pintu berkali-kali terdengar semakin intens. Tanpa menunggu siapa pelakunya. Aku membuka pintu lalu mendapati...
"Mbak Naya!" pekiku saat melihat perempuan di depanku dengan wajah pucat pasi tengah meringis kesakitan.
"Mbak kenapa?" Buru-buru kurangkul bahunya lalu mengelus dahinya yang bercucuran peluh.
"Perut Mbak, m-mules ... k-kayanya
a ... kontraksi ...," Mbak Naya menggigit bibirnya yang mungkin tengah menahan sakit."Ke rumah sakit sekarang, ya?" pinta Mas Ian terdengar khawatir yang kini sudah berada di sampingku lalu pergi keluar menuju garasi.
Seisi rumah mulai panik karena kontraksi Mbak Naya yang tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Mamah, Mas Gibran juga Mas Ian pergi meninggalkanku seorang diri di rumah. Tadinya aku ingin ikut ke rumah sakit, namun Mas Ian tak mengizinkan dan lebih menyuruhku agar di rumah.
Kulirik gelisah jam di dinding beberapa kali. Pukul 1 pagi. Namun tak ada tanda-tanda suara deru mobil terdengar di halaman rumah. Aku menggigit bibir, menatap layar ponsel. Panggilan telepon dariku sama sekali tak diindahkan oleh Mas Ian.
Berbagai tanya bermuara di kepalaku. Rasa takut dan cemas terus melayang-layang membuat mataku terjaga dalam kesunyian malam yang terasa mencekam.
"Rin...," Mataku mengerjap saat panggilan yang begitu kukenal semakin terdengar begitu jelas. Perlahan aku membuka mata lalu menatap seksama pria yang kurindukan itu kini benar-benar nyata dihadapanku.
Aku tersenyum. Semua rasa dipikirkanku sejak semalam kini pudar karena kehadirannya.
"Kapan pulang?"
"Dua jam lalu. Maaf saya gak ngabarin kamu,"
"Gak apa-apa, Mas. Jam berapa ini?" tanyaku mengedarkan pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALI KEDUA
RomanceMeniti dua tahun menikah, Arbian tak pernah menyentuh istrinya. Hingga satu rahasia besar pada akhirnya terkuak, yang membuat Airin ingin mengakhiri pernikahannya. Highrank# 1 Air Mata 31 Okt 2020 2 jatuh cinta 2020