lima

24.7K 1.3K 113
                                    

Satu alis Mas Ian terangkat, matanya menatap bingung, karena tak seperti biasanya aku bisa semarah ini.

Sesaat. Mas Ian berjongkok. Satu tangannya memungut kertas yang tergeletak di lantai, lalu membaca kertas digenggamannya.

Kutatap lekat dengan seksama bias ketenangan itu, sebelum akhirnya raut itu berganti menjadi ketegangan.

Beberapa kali Mas Ian menyugar rambutnya, mencoba berusaha menutupi segala bentuk keterkejutan yang kini bermuara di wajahnya.

"Jelaskan Mas, gak mungkin kan itu pesanan Mbak Naya?" cecarku memupus pemikiran yang memang tak masuk akal. Karena jelas! Ukuran itu bukan untuk newborn.

Mas Ian semakin bergeming. Mata elang itu seakan tak mampu untuk sekedar menatapku barang sedetik saja.

Kini keheningan tercipta di antara kami. Dengan rasa sabar, aku menunggu pengakuan dan kejujuran Mas Ian. Meski hati kecilku lagi-lagi belum siap mendengar alasan yang sebenarnya. Segala macam bayangan negatif pun kini semakin menguat dengan diamnya Mas Ian. Karena aku yakin, ada sesuatu yang disembunyikannya selama ini.

"Ini ... memang untuk keperluan ... Runa," jawabnya terdengar begitu lemah.

"Rr-una, ss-iapa?" tanyaku dengan suara bergetar sembari memicingkan mata.

Entah kenapa. Mendengar nama asing itu seperti ada perasaan buruk yang akan membuat duniaku berhenti berputar. Dan seperti akan ada badai besar yang siap meruntuhkan petahananku.

Tidak-tidak. Aku menggeleng. Memupus kembali bayangan yang terus saja berkelebat di kepala.

Tatapan Mas Ian kini berganti padaku. Ada sorot keseriusan yang tergambar di sana. Mas Ian berdeham sesaat,

"Runa .. dia anak saya. Buah cinta dari pernikahan siri saya dengan ibunya. Dan perlu saya tekankan, Airin. pernikahan ini, jauh sebelum menikah dengan kamu." Lanjutnya yang membuat bola mataku membulat sempurna.

Secara refleks dua tanganku terangkat membekap mulut. Kucerna lagi setiap bait kata yang terasa amat menghujam jantungku yang kini membentuk menjadi rasa sesak.

Derai hujan air mata yang sedari tadi kutahan semampuku, pada akhirnya tak bisa kubendung lagi.

Aku menelan ludah susah payah.

"Bilang, kalau ucapan kamu itu bercanda kan, Mas?" lirihku memohon. Dan berharap bibir itu melengkung lalu menciptakan senyum. Namun nyatanya, Mas Ian malah menggeleng.

"Maafkan saya, Airin. Tapi ini kebenarannya. Bukannya selama ini kamu selalu ingin tahu kenapa saya tidak pernah menyentuhmu," timpalnya balik yang membuat ucapan itu menjadi tamparan keras pada kenyataan yang sebenarnya.

"Kenapa, kenapa kamu gak jujur dari awal, Mas! Sebenarnya kamu anggap apa, aku dan pernikahan ini? Jujur ... Aku benar-benar kecewa sama kamu, Mas!" sergahku menahan amarah.

"Saya rasa kamu tidak perlu terlalu jauh mengusik privasi kehidupan saya. Bukannya perjodohan ini tanpa dasar cinta? Lalu apa yang harus diperjuangkan? Saya mempertahankan pernikahan ini juga karena semata-mata menjaga perasaan Mamah. Dan untuk sementara, paham kamu!"

Aku diam. Telak dengan ucapannya. Aku tahu perjodohan ini atas keterpaksaan, namun Mas Ian tidak tahu kalau rasa ini sudah tumbuh saat kali pertama bersitatap. Mas Ian tidak tahu betapa bahagianya aku saat mendengar Alm. Ibu mengatakan kalau pria yang yang kusebut disepertiga malam itu akan datang melamar malam nanti. Namun bodohnya aku, baru menyadari bahwa senyum dan ketulusannya hanyalah semu. Karena pada kenyataannya rasa ini tak sama juga seirama.

Kuseka air mata yang sedari tadi terus berjatuhan. Sudah! Cukup! Airin. Air mata ini tak pantas untuknya. Kamu tak boleh lemah dihadapannya. Kamu harus kuat, iya kuat. Aku membatin dalam hati.

"Kalau begitu, untuk apa dipertahankan jika pada akhirnya menuai luka. Aku berhak bahagia atas hidupku. Begitu pun Mas juga berhak bahagia dengannya, tanpa ada aku di antara kalian. Menurutku tidak ada yang perlu untuk dipertahankan tentang pernikahan semu ini. Aku cukup sadari diri. Lebih baik kita akhiri saja, Mas. Sebelum ... sebelum semuanya terlalu jauh." Putusku lalu bergerak melangkah menuju pintu.

"Kalau ada apa-apa dengan Mamah, kamu yang harus tanggung jawab, Airin! Saya mohon turuti keinginan saya. Kasih saya waktu untuk mengenalkan mereka pada Mamah, setelah itu ... saya akan ceraikan kamu, kalau itu yang kamu mau."

Aku tersenyum. kecut. Seenteng itukah mengambil keputusan. Sedangkan aku harus bertahan di sini, menanggung luka di atas kebahagiaan orang lain.

Aku berbalik menatap tajam padanya.

"Kamu egois Mas! Memikirkan kebahagiaan diri sendiri, tapi tanpa memikirkan perasaan aku bagaimana?"

"Kalau saya egois, dari awal menikah sudah saya sentuh kamu, Airin! Karena saya punya perasaan makanya saya tidak mau menyakiti dia, juga kamu terlalu jauh. Saya pikir ... setidaknya setelah bercerai, keperawananmu masih tetap terjaga."

Aku menggeleng. Tak menyangka dengan jalan pikiran Mas Ian.

"Untuk sementara waktu, kamu hanya perlu cukup diam, Airin. Dan ... masalah Mamah, biarkan saya dan dia ....,"

"Cukup!" sanggahku memotong ucapannya lalu bergerak mundur dan segera pergi berlari keluar.

Untuk saat ini, aku hanya perlu menyendiri, menetralkan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Mencoba meredakan gumpalan berbagai emosi yang hampir saja meledak jika aku tak bisa mengimbanginya.

Percuma juga, menangis lagi di depannya tak akan bisa mengubah segalanya. Buat apa? Sedangkan jauh sebelumnya, ada perempuan lain yang mengisi ruang hatinya.

Iya, dia...

Perempuan yang mampu membentengi kokohnya petahanan di antara aku dan Mas Ian.
Karena dia, yang telah memberikan sumber kebahagiaan Mas Ian yang sebenarnya.
Karena dia juga, alasan dan tujuan Mas Ian memperjuangkannya dengan segenap cinta.

Dan karena dia, impianku kini memudar dan pernikahan resmi yang baru seumur jagung akan segera berakhir...

Mon maaf lama... Jangan lupa vomentnya guys! 😘

KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang