Dari dua sisi yang bawain cerita, lebih bobrok siapa, dan lebih ngeselin siapa nih? 🙊
Anw selamat berbuka. Ditemenin om nih 😂
P.s: aku belom ngecek lagi ini, nyambi ngerjain yang lain. Jadi kalo ada typo ato kalimat yang ilang gitu bilang aja gaes~
P.p.s: hati hati 🌚
Header note: dresser di bawah itu maksudnya bukan lemari ya, tapi orang yang kerjanya merias.
-
Tutelage
Beberapa rencana dan perkiraan sudah ada dalam kepalaku setelah obrolan dengan Adrianne tempo hari. Aku menghabiskan beberapa waktu untuk bertemu dengannya sekalipun hanya sekadar makan, sesekali menjemputnya, mengobrol lebih lanjut perihal beban kuliah juga utang ayahnya.
Tidak begitu penting, semuanya itu kami lakukan untuk meningkatkan frekuensi pertemuan dan mengurangi kecurigaan dari pihak keluarga kamu masing-masing. Semuanya sebenarnya sesuai rencana.
Ya, hampir semuanya. Kecuali satu: Kakek dan—terlebih lagi—Nenek.
Aku memang bilang soal rencanaku untuk menikahi Adrianne dalam waktu dekat, dan sempat terpikir mereka mungkin akan bertanya lebih lanjut soal itu. Namun tanpa kuduga, Nenek menanggapinya dengan antusias dan bangga karena dia tahu aku dan Adrianne akan cocok.
Soal itu, aku tidak ingin mengomentari. Dari semua orang yang Nenek kenalkan, gadis itu memang opsi terbaik.
Kalau hanya antusiasme belaka, seharusnya tidak akan merepotkan. Hanya saja ketika aku bilang berencana menikahi Adrianne, Nenek jadi bersemangat sampai menghubungi begitu banyak wedding organizer yang menurutnya mumpuni. Dan dalam dua bulan terakhir Nenek sama sekali tidak berhenti merecokiku.
Nampaknya aku belum benar-benar bisa tenang sebelum semuanya sah.
Adrianne juga nampaknya mengalami hal yang serupa karena Nyonya Heejoon kurang lebih memiliki antusiasme yang sama seperti Nenek, jadi kami sama-sama berpikir bahwa lebih cepat lebih baik. Mengikuti jadwal yang diatur wedding organizer yang kami pilih, selama satu minggu ini kami disibukkan dengan daftar undangan, gedung, dan jadwal wedding dress fitting hari ini. Aku berpikir seharusnya jasa Nyonya Heejoon juga bisa, tapi dia menolak dan bilang hari spesial sebaiknya diurus oleh tangan yang spesial juga.
Tepat jam 9 aku menjemput Adrianne di rumah bibinya. Ini bukan pertama kalinya aku menjemputnya, tetapi kali ini dia lebih diam dari biasanya. Semula aku membiarkannya diam, barangkali dia memang butuh waktu tenang setelah jadi gadis yang tak tahu kapan harus tutup mulut. Semakin diperhatikan, aku yakin bahwa dia diam karena kikuk. Selagi pemilik butik dan dresser menjelaskan apa saja yang akan kami lakukan selama beberapa jam ke depan, Adrianne sama sekali tak berkutik, hanya mengangguk layaknya anak kecil yang baru diajar menghitung.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Not So Dumb Wedding
أدب الهواة"Kau baru lulus, kan? Jadi apa rencanamu ke depan?" Adrianne memandangi gelas kopinya, tersenyum miris sambil mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi kelihatannya aku akan menikah dengan pria kaya yang jauh lebih tua dariku." Dalam kepalanya Adrianne memba...