Chapter 12: Taehyung

2.4K 508 122
                                    

Update terakhir bulan Juni dong hahaha. Anw, hello. Masih inget Om Tae sama Adri? Aku rasa beberapa dari kalian udah tau, tapi aku agak gemes karena ditanyain terus kapan update. Jadi ceritanya HDD aku rusak, datanya semua ilang, termasuk bab yang udah kusiapin untuk cerita ini. So, no other option except writing from zero. Jadi, mohon dimaklumi absenku yang nyaris dua bulan ini ya. Mari kita lanjutkan perjalanan dengan ramai ramai rusuh ea ea💅

-

Trial

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Trial

Ada beberapa hal yang kupelajari selama menghabiskan beberapa waktu belakangan bersama Adrianne. Salah satunya, lebih baik bertindak sebelum dia protes.

Setidaknya apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah, dan dia cukup realistis untuk menyadari itu, termasuk keadaan dimana dia tahu aku memesan penerbangan kelas VIP. Dalam hitungan detik dia kelihatan sama sekali tidak terima soal biayanya.

"Demi Tuhan, Taehyung, harga tiketnya menguras banyak uang. Lebih baik ambil penerbangan biasa!" protesnya begitu melihat tiket tadi malam. Pertengkaran malam yang tak terduga, dan tak kuinginkan. Perjalanan kami mengelilingi Florence melelahkan, dan bukan intensiku untuk mengakhiri malam seperti itu.

"Lebih buang-buang uang kalau kita beli tiket baru, kan?" imbuhku. Syukurnya perdebatan tadi malam berakhir begitu saja dengan dia yang tidur memunggungiku, tak lagi berargumen.

Harus kuakui itu bukan akhir yang bagus untuk sebuah bulan madu.

Hingga saat ini, Adri tampaknya masih belum setuju, sekalipun kami sudah berada di dalam pesawat. Selama perjalanan dia asik membaca buku, bicara seadanya dan jika diperlukan. Nenek sempat menelepon untuk menanyakan kapan kami pulang, dan untungnya Adri masih merespons seperti biasa. Tapi itu beberapa jam yang lalu. Sekarang dia lebih mirip patung daripada istri.

Seorang pramugari mengetuk ruangan kami dan masuk begitu aku persilakan, membawa beberapa camilan. Adri sama sekali tidak mengalihkan pandangannya bahkan ketika semua sudah terhidang di depannya.

"Makan dulu," ujarku. "Pagi ini kita hanya makan roti, kan?"

Adri mendongak, menatapku dengan sorot mata menelisik sebelum menghela napas kasar, lebih kedengaran seperti dengusan. "Utangku bisa-bisa makin banyak," keluhnya, lantas menutup buku di pangkuan dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Aku bukan penagih utang," aku menimpali, sementara Adri langsung mencebik tanpa kata. Meski begitu, dia akhirnya mengambil tart di meja dan mulai memakannya. Semuanya kembali hening seperti semula. Aku seharusnya menyukai keadaan ini, tapi rasanya ganjil mengetahui ada hal kecil di antara kami yang belum diselesaikan.

"Kalau kau masih marah, aku minta maaf," celetukku. Kali ini tatapannya kembali terarah kepadaku.

"Kenapa malah minta maaf?" Dia mengernyit. "Memangnya kau salah apa?"

My Not So Dumb WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang