Hadiah 17-an, probably. Ramein lagi yaw, ea ea.
Anyway, maap kalo ada typo. Belum kuedit karena langsung post (bukan tindakan baeq gaes jan ditiru🤞)Aku lagi fokus sama orific di platform sebelah, jadi yang ini agak aku kendurin jadwalnya sama upcoming project di MJ, karena ketimbang cerita lain, target kata tiap bab buat cerita ini lebih banyak. Moga bisa ASAP jadi prioritas om satu ini~
-
Fresh
Tidak ada yang lebih menyenangkan ketimbang kembali ke rumah sendiri.
Sejak kuliah di Paris dulu, prinsip itu tidak pernah berubah bagiku. Aku menyukai negeri lain, tentu saja. Paris punya keindahan tersendiri, begitu juga Florence. Namun, tidak ada yang bisa menggantikan suasana rumah yang dimiliki Seoul sejak aku lahir.
Setidaknya begitulah yang aku pikirkan sebelum aku ingat kembali berarti berhadapan dengan orang lain. Dan kali ini, Nenek dan Auntie Heejoon salah duanya. Sementara Auntie Heejoon menjelma menjadi reporter dengan daftar pertanyaan panjang, pagi ini Nenek juga tak mau kalah, menelepon dan mengingatkan soal rencana makan siang bersama dan menawarkan diri untuk datang besok.
Itu bencana. Bencana besar.
Pertama, aku jadi ingat sebelumnya mengiyakan untuk masak daging, dan kedua, Nenek pasti bukan hanya mau datang untuk makan malam, karena dia juga mengatakan, "Nenek ingin dengar cerita kalian soal Florence. Pasti menyenangkan."
Hidupku sudah pasti tidak menyenangkan.
Dulu sekali, Ibu sering memintaku untuk menemaninya di dapur. Yang kulakukan tak lebih dari mencuci sayur dan buah, kemudian duduk di meja supaya bisa melihat bagaimana cara Ibu memasak. Selain melukis dan menggambar, aku percaya Ibu suka sekali memasak. Antusiasme seakan mewarnai matanya setiap kali tangannya mengolah makanan, mulai dari daging sampai tepung.
"Suatu saat nanti, kau harus bisa masak sendiri, Adri." Ibu pernah bilang begitu. "Makanan terenak selalu berasal dari hasil tangan sendiri."
Aku bukannya mau bilang Ibu berbohong, tapi aku ingin bertanya kalau-kalau bagian 'selalu' itu merupakan sebutan ekslusif untuk beberapa orang, dan aku tidak termasuk salah satunya. Karena kenyataannya, membeli ramyeon instan lebih enak ketimbang masakanku.
Oh, jangankan rasanya, dari penampilannya saja orang mungkin berpikir ulang untuk membiarkan mulutnya memasukkan obyek aneh hasil tanganku.
Hari ini aku mencoba memasak. Sebagai perantau, masak sendiri bukan kegiatan baru, tapi menyentuh daging, tepung, dan berbagai bahan mahal lainnya sama sekali tak pernah kulakukan. Dari beberapa resep yang kucari, banyak yang menyarankan roti dari adonan meringue sebagai hidangan paling mudah. Olahan dari putih telur dan gula itu dianggap bisa dilakukan siapa saja. Namun sudah dua kali mencoba memanggangnya, hasil yang kudapat justru roti setengah mengembang dengan bagian bawahnya yang gosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Not So Dumb Wedding
Fanfic"Kau baru lulus, kan? Jadi apa rencanamu ke depan?" Adrianne memandangi gelas kopinya, tersenyum miris sambil mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi kelihatannya aku akan menikah dengan pria kaya yang jauh lebih tua dariku." Dalam kepalanya Adrianne memba...